
CERITA RAKYAT INDONESIA

Disusun oleh : Putri Aisyah
Kelas :
VI B
Tahun ajaran 2014/2015
SD Negeri 51 Kota Bengkulu Dinas Pendidikan
Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala
limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Hidayahnya
sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan kliping berjudul " Cerita
Rakyat Indonesia" ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana.
Semoga kliping ini dapat dipergunakan sebagai salah satu media pembelajaran.
Harapan saya semoga kliping ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi kliping ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Kliping ini saya akui masih banyak kekurangan karena . Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan kliping ini.
Harapan saya semoga kliping ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi kliping ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Kliping ini saya akui masih banyak kekurangan karena . Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan kliping ini.
Pembuat
Putri Aisyah
Daftar Isi
1. NANGGROE ACEH DARUSSALAM (Geugasi dan Geugesa)
Zaman dahulu
kala ada sebuah kampung yang sangat aman dan damai di daerah Aceh. Di sana
tidak pernah terjadi pencurian maupun perampokan. Masyarakatnya pun tidak
pernah saling bertengkar. Kalau ada masalah, mereka langsung menyelesaikannya
secara musyawarah sehingga suasana di sana hidup penuh rukun dan saling tolong
menolong.
Di kampung
itu, hiduplah seorang ibu dengan anaknya yang masih berusia sepuluh tahun. Si
ibu dan anak itu sehari-harinya mencari kayu bakar di hutan yang kemudian kayu
itu dijual ke pasar. Dari hasil itu, mereka bisa membeli kebutuhan sehari-hari.
Suatu hari,
kampung yang aman itu dikejutkan oleh hilangnya kerbau Mak Yah. Semua
masyarakat mencarinya, tapi tak seorang pun yang menemukannya. Kerbau itu
hilang bagaikan ditelan rimba. Hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya sehingga
membuat masyarakat bertanya-tanya siapa yang mencuri kerbau itu. Keesokan
harinya, tiga ekor kambing Bang Ma’e ikut hilang di tempat pengembalaannya. Di
sana yang tinggal hanyalah tulang belulang dan percikan darah di mana-mana.
Kejadian ini membuat warga semakin penasaran. Dalam hati mereka bertanya,
“Sebenarnya siapa yang telah merusak kedamaian di kampung ini?”
Hari-hari
berikutnya, makin banyak warga yang kehilangan binatang ternaknya. Bahkan,
salah satu anak Wak Minah juga telah hilang ketika dia bermain hingga membuat
wak itu terus menangis sepanjang hari. Masyarakat menebak bahwa yang memakan
ternak mereka dan mencuri anak Wak Minah adalah geugasi (raksasa) yang tinggal
di hutan sana. Karena tapak-tapak yang tertinggal di daerah itu sangatlah
besar.
Masyarakat di kampung itu pun mulai resah. Ketakutan mulai melanda di hati
mereka. Mereka pun tidak berani lagi keluar rumah. Ahmad yang tidak tahan
dengan keadaan itu memberanikan diri untuk mencari sang pembuat onar.
Keesokan harinya, dia berpamitan kepada ibunya untuk pergi ke hutan, tetapi
sang ibu melarangnya. “Jangan
Ahmad, nanti kamu dimakan geugasi,” ucap ibunya gusar.
“Tidak Bu,
aku akan menjaga diriku baik-baik. Ibu berdoa saja agar aku selamat.”
Akhirnya ibunya hanya bisa mengangguk pasrah menerima permintaan Ahmad,
anaknya yang keras kepala. Kemudian pergilah Ahmad ke hutan seorang diri. Dia
hanya membawa bekal makanan dan satu pisau yang diselip di pinggangnya. Ahmad
terus berjalan hingga dia sendiri tidak tahu lagi sudah sejauh mana dia
berjalan. Keringat mulai membasahi tubuhnya, dia pun beristirahat sebentar di
bawah pohon. Dari kejauhan, tampaklah sebuah rumah panggung dan semangat Ahmad
muncul kembali. Dia menuju rumah itu.
Rumah panggung itu tidak begitu besar dan juga tidak terlalu kecil. Ahmad
mengetuk-ngetuk pintu rumah itu, tapi tidak ada sahutan. Dia pun masuk. Di
dalam rumah itu terdapat bermacam kepala binatang dan tulang-belulang yang
dijadikan sebagai pajangan. Berbagai jenis tombak dan parang terletak di sudut
rumah itu begitu juga dengan barang-barang lainnya.
Ahmad
terkejut mendengar suara rintihan minta tolong yang tiba-tiba itu. Dia pun
mencari sumber suara itu dan menemukannnya di salah satu kamar di rumah itu.
Ternyata itu adalah suara anak perempuan Wak Minah yang hilang. Anak itu
meringkuk di sudut sambil menangis tersedu-sedu. Tahulah Ahmad sekarang kalau
itu adalah rumah geugasi yang dia cari. Dia pun menenangkan anak wak Minah dan
berjanji akan memulangkannya pada ibunya.
Tiba-tiba
dari kejauhan terdengar suara orang yang berjalan dengan begitu keras.
Rasa-rasanya bumi bergoyang ketika tapak-tapak itu menghantam tanah. “Itu pastilah geugasi,” pikir
Ahmad. Dia pun memikirkan ide agar mereka selamat.
Geugasi yang baru saja mencari makanan akhirnya tiba di halaman rumahnya.
Lalu dia berhenti dan hidungnya naik-turun berkali-kali. “Aku mencium bau
manusia….” ucapnya dengan begitu keras. Tiba-tiba terdengar suara-suara tapak
yang begitu keras di dalam rumah. Kening geugasi itu berkerut.
“Siapa di dalam?” tanyanya penasaran.
“Geugasa,” jawab Ahmad dengan suara yang keras sambil meloncat-loncat di
lantai.
Geugasi berpikir bahwa geugasa itu juga sejenis raksasa. Dia pun bertanya
lagi, “Coba kulihat gigimu!”
Ahmad melempar buah pinang. Si geugasi terkejut melihat gigi geugasa lebih
besar dari giginya. Dia pun melanjutkan pertanyaannya, “Coba kulihat kumismu!”
Ahmad mengambil satu gumpalan bulu ijuk yang lebat dan melemparnya keluar.
Si geugasi lagi-lagi terkejut melihat kumis geugasa yang begitu lebat itu. Dia
memegang kumisnya yang hanya setengah dari gumpalan kumis si geugasa itu. Dia pun bertanya lagi, “Coba kulihat tahimu!”
Ahmad pun
melempar buah kelapa yang besar dan tua. Si gugasi sangat terkejut melihat tahi geugasa yang
begitu besar itu. Dia berpikir, kalau gigi dan tahinya sebesar itu dan kumisnya
selebat itu, bagaimanakah besarnya geugasa itu. “Oh, pastilah dia amat sangat
besar…. Pastilah aku mati kalau berhadapan dengannya,” ucap geugasi pada
dirinya sendiri.
“Aku sangaat lapaarrr…. apakah ada makanan disini?” ucap Ahmad dengan suara
yang dikeras-keraskan.
Mendengar
itu, badan geugasi langsung gemetar, keringat dingin mulai keluar, dan mukanya
menjadi tegang. Jelas sekali dia ketakutan. “Aaarrrgghhhhh…… kenapa tidak ada
apa-apa di sini? Lebih baik aku keluar saja. Pasti ada makanan di sana.”
Tubuh geugasi makin bergetar hebat karena mendengar ucapan geugasa. Tanpa
menunggu waktu lagi, dia berbalik arah hendak melarikan diri, tapi Ahmad dengan
cekatan mengambil tombak dan melemparnya ke arah geugasi. Tombak itu menancap
mulus di punggung geugasi hingga tembus ke perutnya. Dia mengerang begitu
keras. Ahmad pun mengambil tombak satu lagi dan melemparnya lagi hingga
menancap di kepala geugasi yang berambut lebat dan panjang. Geugasi itu pun
tersungkur di tanah. Dia mati.
Ahmad dan anak wak Minah turun dan melihat geugasi yang sudah tak bernyawa
itu. Lalu mereka pulang dan setiba di sana mereka mengabarkan pada seluruh
warga di kampung bahwa mereka telah membunuh geugasi. Semua orang sangat
senang, apalagi Wak Minah dan ibu si Ahmad karena melihat anaknya kembali dengan
selamat. Akhirnya kampung itu kembali aman
dan damai.
2. SUMATERA UTARA (Asal-Usul Danau Toba)
Di Sumatera
Utara terdapat danau yang sangat besar dan ditengah-tengah danau tersebut
terdapat sebuah pulau. Danau itu bernama Danau Toba sedangkan pulau ditengahnya
dinamakan Pulau Samosir. Konon danau tersebut berasal dari kutukan dewa.
Di sebuah
desa di wilayah Sumatera, hidup seorang petani. Ia seorang petani yang rajin
bekerja walaupun lahan pertaniannya tidak luas. Ia bisa mencukupi kebutuhannya
dari hasil kerjanya yang tidak kenal lelah. Sebenarnya usianya sudah cukup
untuk menikah, tetapi ia tetap memilih hidup sendirian. Di suatu pagi hari yang
cerah, petani itu memancing ikan di sungai. “Mudah-mudahan hari ini aku
mendapat ikan yang besar,” gumam petani tersebut dalam hati. Beberapa saat setelah kailnya
dilemparkan, kailnya terlihat bergoyang-goyang. Ia segera menarik kailnya.
Petani itu bersorak kegirangan setelah mendapat seekor ikan cukup besar.
Ia takjub melihat warna sisik ikan yang indah. Sisik ikan itu berwarna
kuning emas kemerah-merahan. Kedua matanya bulat dan menonjol memancarkan
kilatan yang menakjubkan. “Tunggu, aku jangan dimakan! Aku akan bersedia
menemanimu jika kau tidak jadi memakanku.” Petani tersebut terkejut mendengar
suara dari ikan itu. Karena keterkejutannya, ikan yang ditangkapnya terjatuh ke
tanah. Kemudian tidak berapa lama, ikan itu berubah wujud menjadi seorang gadis
yang cantik jelita. “Bermimpikah aku?,” gumam petani.
“Jangan takut pak, aku juga manusia seperti engkau. Aku sangat berhutang
budi padamu karena telah menyelamatkanku dari kutukan Dewata,” kata gadis itu.
“Namaku Puteri, aku tidak keberatan untuk menjadi istrimu,” kata gadis itu
seolah mendesak. Petani itupun mengangguk. Maka jadilah mereka sebagai suami istri.
Namun, ada satu janji yang telah disepakati, yaitu mereka tidak boleh
menceritakan bahwa asal-usul Puteri dari seekor ikan. Jika janji itu dilanggar
maka akan terjadi petaka dahsyat.
Setelah sampai di desanya, gemparlah penduduk desa melihat gadis cantik
jelita bersama petani tersebut. “Dia mungkin bidadari yang turun dari langit,”
gumam mereka. Petani merasa sangat bahagia dan tenteram. Sebagai suami yang
baik, ia terus bekerja untuk mencari nafkah dengan mengolah sawah dan ladangnya
dengan tekun dan ulet. Karena ketekunan dan keuletannya, petani itu hidup tanpa
kekurangan dalam hidupnya. Banyak orang iri, dan mereka menyebarkan sangkaan
buruk yang dapat menjatuhkan keberhasilan usaha petani. “Aku tahu Petani itu pasti
memelihara makhluk halus! ” kata seseorang kepada temannya. Hal itu sampai ke
telinga Petani dan Puteri. Namun mereka tidak merasa tersinggung, bahkan
semakin rajin bekerja.
Setahun kemudian, kebahagiaan Petani dan istri bertambah, karena istri
Petani melahirkan seorang bayi laki-laki. Ia diberi nama Putera. Kebahagiaan
mereka tidak membuat mereka lupa diri. Putera tumbuh menjadi seorang anak yang
sehat dan kuat. Ia menjadi anak manis tetapi agak nakal. Ia mempunyai satu kebiasaan
yang membuat heran kedua orang tuanya, yaitu selalu merasa lapar. Makanan yang
seharusnya dimakan bertiga dapat dimakannya sendiri.
Lama kelamaan, Putera selalu membuat jengkel ayahnya. Jika disuruh membantu
pekerjaan orang tua, ia selalu menolak. Istri Petani selalu mengingatkan Petani
agar bersabar atas ulah anak mereka. “Ya, aku akan bersabar, walau bagaimanapun
dia itu anak kita!” kata Petani kepada istrinya. “Syukurlah, kanda berpikiran
seperti itu. Kanda memang seorang suami dan ayah yang baik,” puji Puteri kepada
suaminya.
Memang kata orang, kesabaran itu ada batasnya. Hal ini dialami oleh Petani itu.
Pada suatu hari, Putera mendapat tugas mengantarkan makanan dan minuman ke
sawah di mana ayahnya sedang bekerja. Tetapi Putera tidak memenuhi tugasnya.
Petani menunggu kedatangan anaknya, sambil menahan haus dan lapar. Ia langsung
pulang ke rumah. Di lihatnya Putera sedang bermain bola. Petani menjadi marah
sambil menjewer kuping anaknya. “Anak tidak tau diuntung ! Tak tahu diri ! Dasar anak ikan
!,” umpat si Petani tanpa sadar telah mengucapkan kata pantangan itu.
Setelah petani mengucapkan kata-katanya, seketika itu juga anak dan
istrinya hilang lenyap. Tanpa bekas dan jejak. Dari bekas injakan kakinya,
tiba-tiba menyemburlah air yang sangat deras dan semakin deras. Desa Petani dan
desa sekitarnya terendam semua. Air meluap sangat tinggi dan luas sehingga
membentuk sebuah telaga. Dan akhirnya membentuk sebuah danau. Danau itu
akhirnya dikenal dengan nama Danau Toba. Sedangkan pulau kecil di tengahnya
dikenal dengan nama Pulau Samosir.
3. SUMATERA BARAT (Malin Kundang)
Pada suatu
hari, hiduplah sebuah keluarga di pesisir pantai wilayah Sumatra. Keluarga itu
mempunyai seorang anak yang diberi nama Malin Kundang. Karena kondisi keluarga
mereka sangat memprihatinkan, maka ayah malin memutuskan untuk pergi ke negeri
seberang.
Besar
harapan malin dan ibunya, suatu hari nanti ayahnya pulang dengan membawa uang
banyak yang nantinya dapat untuk membeli keperluan sehari-hari. Setelah
berbulan-bulan lamanya ternyata ayah malin tidak kunjung datang, dan akhirnya
pupuslah harapan Malin Kundang dan ibunya.
Setelah
Malin Kundang beranjak dewasa, ia berpikir untuk mencari nafkah di negeri
seberang dengan harapan nantinya ketika kembali ke kampung halaman, ia sudah
menjadi seorang yang kaya raya. Akhirnya Malin Kundang ikut berlayar bersama
dengan seorang nahkoda kapal dagang di kampung halamannya yang sudah sukses.
Selama
berada di kapal, Malin Kundang banyak belajar tentang ilmu pelayaran pada anak
buah kapal yang sudah berpengalaman. Malin belajar dengan tekun tentang
perkapalan pada teman-temannya yang lebih berpengalaman, dan akhirnya dia
sangat mahir dalam hal perkapalan.
Banyak pulau
sudah dikunjunginya, sampai dengan suatu hari di tengah perjalanan, tiba-tiba
kapal yang dinaiki Malin Kundang di serang oleh bajak laut. Semua barang
dagangan para pedagang yang berada di kapal dirampas oleh bajak laut. Bahkan
sebagian besar awak kapal dan orang yang berada di kapal tersebut dibunuh oleh
para bajak laut. Malin Kundang sangat beruntung dirinya tidak dibunuh oleh para
bajak laut, karena ketika peristiwa itu terjadi, Malin segera bersembunyi di
sebuah ruang kecil yang tertutup oleh kayu.
Malin
Kundang terkatung-katung ditengah laut, hingga akhirnya kapal yang ditumpanginya
terdampar di sebuah pantai. Dengan sisa tenaga yang ada, Malin Kundang berjalan
menuju ke desa yang terdekat dari pantai. Sesampainya di desa tersebut, Malin
Kundang ditolong oleh masyarakat di desa tersebut setelah sebelumnya
menceritakan kejadian yang menimpanya. Desa tempat Malin terdampar adalah desa
yang sangat subur. Dengan keuletan dan kegigihannya dalam bekerja, Malin lama
kelamaan berhasil menjadi seorang yang kaya raya. Ia memiliki banyak kapal
dagang dengan anak buah yang jumlahnya lebih dari 100 orang. Setelah menjadi
kaya raya, Malin Kundang mempersunting seorang gadis untuk menjadi istrinya.
Setelah
beberapa lama menikah, Malin dan istrinya melakukan pelayaran dengan kapal yang
besar dan indah disertai anak buah kapal serta pengawalnya yang banyak. Ibu
Malin Kundang yang setiap hari menunggui anaknya, melihat kapal yang sangat
indah itu, masuk ke pelabuhan. Ia melihat ada dua orang yang sedang berdiri di
atas geladak kapal. Ia yakin kalau yang sedang berdiri itu adalah anaknya Malin
Kundang beserta istrinya.
Malin Kundang pun turun dari kapal. Ia disambut oleh ibunya. Setelah cukup
dekat, ibunya melihat belas luka dilengan kanan orang tersebut, semakin
yakinlah ibunya bahwa yang ia dekati adalah Malin Kundang. "Malin Kundang,
anakku, mengapa kau pergi begitu lama tanpa mengirimkan kabar?", katanya
sambil memeluk Malin Kundang. Tetapi Kundang segera melepaskan pelukan ibunya
dan mendorongnya hingga terjatuh. "Wanita tak tahu diri, sembarangan saja mengaku sebagai ibuku",
kata Malin Kundang pada ibunya. Malin Kundang pura-pura tidak mengenali ibunya,
karena malu dengan ibunya yang sudah tua dan mengenakan baju compang-camping.
"Wanita itu ibumu?", Tanya istri Malin Kundang. "Tidak, ia hanya
seorang pengemis yang pura-pura mengaku sebagai ibuku agar mendapatkan harta
ku", sahut Malin kepada istrinya. Mendengar pernyataan dan diperlakukan
semena-mena oleh anaknya, ibu Malin Kundang sangat marah. Ia tidak menduga
anaknya menjadi anak durhaka. Karena kemarahannya yang memuncak, ibu Malin
menengadahkan tangannya sambil berkata "Oh Tuhan, kalau benar ia anakku,
aku sumpahi dia menjadi sebuah batu". Tidak berapa lama kemudian angin
bergemuruh kencang dan badai dahsyat datang menghancurkan kapal Malin Kundang.
Setelah itu tubuh Malin Kundang perlahan menjadi kaku dan lama-kelamaan
akhirnya berbentuk menjadi sebuah batu karang.
4. SUMATERA SELATAN (Asal Mula Nama Palembang)
Pada zaman dahulu, daerah Sumatra Selatan dan sebagian Provinsi Jambi
berupa hutan belantara yang unik dan indah. Puluhan sungai besar dan kecil yang
berasal dari Bukit Barisan, pegunungan sekitar Gunung Dempo, dan Danau Ranau
mengalir di wilayah itu. Maka, wilayah itu dikenal dengan nama Batanghari
Sembilan. Sungai besar yang mengalir di wilayah itu di antaranya Sungai
Komering, Sungai Lematang, Sungai Ogan, Sungai Rawas, dan beberapa sungai yang
bermuara di Sungai Musi. Ada dua Sungai Musi yang bermuara di laut di daerah
yang berdekatan, yaitu Sungai Musi yang melalui Palembang dan Sungai Musi
Banyuasin agak di sebelah utara.
Karena banyak sungai besar, dataran rendah yang melingkar dari daerah
Jambi, Sumatra Selatan, sampai Provinsi Lampung merupakan daerah yang banyak
mempunyai danau kecil. Asal mula danau-danau kecil itu adalah rawa yang
digenangi air laut saat pasang.
Sedangkan kota Palembang yang dikenal sekarang menurut sejarah adalah
sebuah pulau di Sungai Melayu. Pulau kecil itu berupa bukit yang diberi nama Bukit Seguntang Mahameru.
Keunikan tempat itu selain hutan rimbanya yang lebat dan banyaknya
danau-danau kecil, dan aneka bunga yang tumbuh subur, sepanjang wilayah itu
dihuni oleh seorang dewi bersama dayang-dayangnya. Dewi itu disebut Putri
Kahyangan. Sebenarnya, dia bernama Putri Ayu Sundari. Dewi dan dayang-dayangnya
itu mendiami hutan rimba raya, lereng, dan puncak Bukit Barisan serta kepulauan
yang sekarang dikenal dengan Malaysia. Mereka gemar
datang ke daerah
Batanghari
Sembilan untuk bercengkerama dan mandi di danau, sungai yang jernih, atau
pantai yang luas, landai, dan panjang.
Karena
banyaknya sungai yang bermuara ke laut, maka pada zaman itu para pelayar mudah
masuk melalui sungai-sungai itu sampai ke dalam, bahkan sampai ke kaki
pegunungan, yang ternyata daerah itu subur dan makmur. Maka terjadilah
komunikasi antara para pedagang termasuk pedagang dari Cina dengan penduduk
setempat. Daerah itu menjadi ramai oleh perdagangan antara penduduk setempat
dengan pedagang. Akibatnya, dewi-dewi dari kahyangan merasa terganggu dan
mencari tempat lain.
Sementara
itu, orang-orang banyak datang di sekitar Sungai Musi untuk membuat rumah di
sana. Karena Sumatra Selatan merupakan dataran rendah yang berawa, maka
penduduknya membuat rumah yang disebut dengan rakit.
Saat itu
Bukit Seguntang Mahameru menjadi pusat perhatian manusia karena tanahnya yang
subur dan aneka bunga tubuh di daerah itu. Sungai Melayu tempat Bukit Seguntang
Mahameru berada juga menjadi terkenal.
Oleh karena
itu, orang yang telah bermukim di Sungai Melayu, terutama penduduk kota
Palembang, sekarang menamakan diri sebagai penduduk Sungai Melayu, yang
kemudian berubah menjadi penduduk Melayu.
Menurut
bahasa Melayu tua, kata lembang berarti dataran rendah yang banyak digenangi
air, kadang tenggelam kadang kering. Jadi, penduduk dataran tinggi yang hendak
ke Palembang sering mengatakan akan ke Lembang. Begitu juga para pendatang yang
masuk ke Sungai Musi mengatakan akan ke Lembang.
Alkisah
ketika Putri Ayu Sundari dan pengiringnya masih berada di Bukit Seguntang
Mahameru, ada sebuah kapal yang mengalami kecelakaan di pantai Sumatra Selatan.
Tiga orang
kakak beradik itu ada*lah putra raja Iskandar Zulkarnain. Mereka selamat dari
kecelakaan dan terdampar di Bukit Seguntang Mahameru.
Mereka disambut Putri Ayu Sundari. Putra tertua Raja Iskandar Zulkarnain,
Sang Sapurba kemudian menikah dengan Putri Ayu Sundari dan kedua saudaranya menikah
dengan keluarga putri itu.
Karena Bukit Seguntang Mahameru berdiam di Sungai Melayu, maka Sang Sapurba
dan istrinya mengaku sebagai orang Melayu. Anak cucu mereka kemudian berkembang
dan ikut kegiatan di daerah Lembang. Nama Lembang semakin terkenal. Kemudian
ketika orang hendak ke Lembang selalu mengatakan akan ke Palembang. Kata pa
dalam bahasa Melayu tua menunjukkan daerah atau lokasi. Pertumbuhan ekonomi
semakin ramai. Sungai Musi dan Sungai Musi Banyuasin menjadi jalur perdagangan
kuat terkenal sampai ke negara lain. Nama Lembang
pun berubah menjadi Palembang
Dalam
sejarah lain dikisahkan kata Palembang berasal dari kata Palimbangan yang
berarti aktivitas orang yang melimbang/menambang emas di sekitar Sungai Musi.
5. KEPULAUAN RIAU (Putri Pandan Berduri)
Alkisah
pada jaman dulu di Pulau Bintan, Kepulauan Riau, hiduplah orang orang Suku Laut
yang dipimpin oleh Batin Lagoi. Pemimpin Suku Laut ini merupakan seorang yang
santun dan memimpin dengan adil. Tutur katanya yang lemah lembut terhadap siapa
saja membuat masyarakat Suku Laut sangat mencintai pemimpin mereka itu.
Guna
mengetahui keadaan rakyatnya, Batin Lagoi senantiasa berkeliling. Pada suatu
hari, Batin Lagoi berjalan menyusuri pantai yang disekitarnya penuh ditumbuhi
semak pandan. Sayup sayup telinga Batin Lagoi menangkap suara tangisan bayi.
“Anak siapa itu yang menangis di tempat seperti ini ?’, pikirnya heran sambil
memandang sekeliling. Karena ia tak melihat seorangpun, Batin Lagoi meneruskan
langkahnya.
Baru
beberapa langkah, Batin Lagoi kembali mendengar suara tangisan bayi yang kini
semakin jelas. Batin Lagoi kembali memandang sekeliling, namun ia tak jua
melihat seorangpun disana. Karena penasaran, Batin Lagoi mengikuti asal suara
tangisan yang membawanya ke semak semak pandan. Batin Lagoi menginjak semak
semak itu dengan hati hati. Suara tangisan bayi terdengar semakin keras. Batin
Lagoi tercengang melihat seorang bayi perempuan yang diletakkan diatas dedaunan
yang kini berada di depannya.
Rasa heran kembali menyergap Batin Lagoi. ‘Siapa gerangan yang meletakkan
bayinya disini ?’, gumamnya pelan. Batin Lagoi terdiam sejenak. Setelah
memastikan tak ada orang di sekitar situ, Batin Lagoi memutuskan untuk membawa
pulang bayi perempuan yang cantik itu. Sang bayipun
berhenti menangis ketika Batin Lagoi menggendongnya.
Batin Lagoi
merawat bayi perempuan itu dengan penuh kasih sayang bak anaknya sendiri.
Terkadang ia merasa bayi itu memang diberikan Tuhan untuknya. Bayi perempuan
yang diberinya nama Putri Pandan Berduri itu sungguh membawa kebahagiaan bagi
Batin Lagoi yang selama ini hidup sendiri.
Tak terasa
waktu berlalu begitu cepat. Putri Pandan Berduri telah tumbuh menjadi seorang
gadis yang cantik jelita. Bukan hanya parasnya yang menawan, Putri Pandan
Berduri juga memiliki sikap yang sangat anggun dan santun layaknya seorang
putri. Tutur katanya yang lembut membuat masyarakat Suku Laut mencintainya.
Banyak
pemuda yang terpikat akan kecantikan Putri Pandan Berduri. Meski demikian tak
seorangpun berani meminangnya. Batin Lagoi memang berharap agar putrinya itu
berjodoh dengan anak seorang raja atau pemimpin suatu daerah.
Tersebutlah
seorang pemimpin di Pulau Galang yang memiliki dua orang putera bernama Julela
dan Jenang Perkasa. Sedari kecil kakak beradik itu hidup rukun. Kerukunan itu sirna
ketika sang ayah mengatakan bahwa sebagai anak tertua, Julela akan menggantikan
dirinya sebagai pemimpin di Pulau Galang kelak. Sejak itu, Julela berubah
perangai menjadi angkuh. Ia bahkan mengancam Jenang Perkasa agar selalu
mengikuti setiap perkataannya sebagai calon pemimpin.
Jenang
Perkasa sungguh kecewa akan sikap kakaknya. Akhirnya ia memutuskan untuk
meninggalkan Pulau Galang. Berhari hari ia berlayar tanpa mengetahui arah
tujuan hingga tiba di Pulau Bintan. Jenang Perkasa tak pernah mengaku sebagai
anak pemimpin Pulau Galang. Sehari hari ia bekerja sebagai pedagang seperti
orang kebanyakan.
Sebagai
seorang pendatang, Jenang Perkasa cepat menyesuaikan diri. Sikapnya yang sopan
dan gaya bahasanya yang halus membuat kagum setiap orang. Mereka tak habis
pikir bagaimana seorang pemuda biasa memiliki sifat seperti itu. Akibatnya
Jenang Perkasa menjadi bahan pembicaraan di seluruh pulau.
Cerita tentang Jenang Perkasa sampai juga di telinga Batin Lagoi. Ia sangat
penasaran untuk mengenal pemuda itu secara langsung. Agar tak mencolok, Batin
Lagoi menyelenggarakan acara makan malam dengan mengundang seluruh tokoh
terkemuka di Pulau Bintan. Ia juga
mengundang Jenang Perkasa dalam acara itu.
Jenang
Perkasa yang sebenarnya heran mengapa dirinya diundang Batin Lagoi, datang
memenuhi undangan. Sejak kedatangannya, Batin Lagoi senantiasa memperhatikan
gerak gerik Jenang Perkasa. Caranya bersikap, berbicara, bahkan sampai caranya
bersantap diamati Batin Lagoi diam diam. Tak dapat dipungkiri, Batin Lagoi sangat terkesan
terhadap Jenang Perkasa. Terbersit
dihatinya untuk menjodohkan Jenang Perkasa dengan Putri Pandan Berduri. Batin
Lagoi sepertinya lupa akan keinginannya untuk menikahkan putrinya dengan
seorang pangeran atau calon pemimpin.
Tak mau membuang kesempatan, Batin Lagoi segera menghampiri Jenang Perkasa.
‘Wahai anak muda, sudah lama aku mendengar kehalusan budi pekertimu..’, katanya
membuka percakapan. Jenang Perkasa hanya tersenyum sopan mendengar kata kata
pemimpin Pulau Bintan itu. “Malam ini aku telah membuktikkannya sendiri’,
lanjut Batin Lagoi sambil menatap Jenang Perkasa yang menunduk malu mendengar
pujian Batin Lagoi. “Aku pikir, alangkah senangnya hatiku jika kau bersedia
kunikahkan dengan putriku..”
Jenang Perkasa sungguh terkejut mendengar tawaran Batin Lagoi. Ia mengusap usap lengannya untuk memastikan dirinya
tak sedang bermimpi. Ia sama sekali tak menyangka ayah seorang perempuan cantik
bernama Putri Pandan Berduri meminta kesediaan dirinya untuk dijadikan menantu.
Jenang Perkasa tentu saja tak mau membuang kesempatan emas itu. Ia segera
mengangguk setuju sambil tersenyum memandang Batin Lagoi.
Beberapa hari kemudian Batin Lagoi menikahkan Putri Pandan Berduri dengan
Jenang Perkasa. Pesta besar digelar untuk merayakan pernikahan putri semata
wayangnya itu. Seluruh warga Pulau Bintan diundang untuk hadir. Para undangan
merasa senang melihat Putri Pandan Berduri bersanding dengan Jenang Perkasa
yang terlihat sangat serasi.
Putri Pandan
Berduri hidup bahagia dengan Jenang Perkasa. Apalagi tak lama kemudian, Batin
Lagoi yang merasa sudah tua mengangkat menantunya itu untuk menggantikan
dirinya menjadi pemimpin di Pulau Bintan. Jenang Perkasa yang memang anak
seorang pemimpin itu rupanya mewarisi bakat kepemimpinan ayahnya. Ia mampu
menjadi pemimpin yang disegani sekaligus dicintai rakyatnya. Ia juga menolak
untuk kembali ketika warga Pulau Galang yang mendengar cerita tentang dirinya
memintanya untuk menggantikan kakaknya.
Pernikahan
Putri Pandan Berduri dengan Jenang Perkasa dikaruniai tiga orang anak yang
diberi nama dengan adat kesukuan. Batin Mantang menjadi kepala suku di utara
Pulau Bintan, Batin Mapoi menjadi kepala suku di barat Pulau Bintan, dan Kelong
menjadi kepala suku di timur Pulau Bintan. Adapun adat suku asal mereka yaitu
Suku Laut tetap menjadi pedoman bagi mereka. Hingga kini Putri Pandan Berduri
dan Jenang Perkasa yang telah lama tiada masih tetap dikenang oleh Suku Laut di
perairan Pulau Bintan.
6. RIAU (Legenda Ikan Patin)
Pada zaman
dahulu, di Tanah Melayu hidup seorang nelayan tua bernama Awang Gading. Dia
tinggal sendirian di tepi sebuah sungai yang luas dan jernih. Walaupun hidup
seorang diri, Awang Gading selalu berbahagia. Dia mensyukuri setiap nikmat yang
diberikan Tuhan. Hari-harinya dihabiskan untuk bekerja mencari ikan dan kayu.
Suatu hari,
Awang Gading mengail di sungai. Sambil berdendang riang, dia menunggui kailnya.
Burung-burung turut berkicau menambah kegembiraan Awang Gading. Sayang, sudah
berkali-kali umpannya dimakan ikan, namun saat kailnya di tarik, ikannya terlepas
lagi.
"Air pasang telan ke ingsang, air surut telan ke perut,renggutlah....!
Biar putus jangan rabut," terdengar dendang Awang Gading sambil melempar
pancingnya kembali. Perlahan hari beranjak petang, namun tak seekor ikan pun di
perolehnya. "Alangkah tidak beruntungnya diriku hari ini," keluh
Awang Gading. Ia bergegas membereskan peralatan pancingnya dan berniat pulang.
Tiba-tiba terdengar suara tangis bayi, dengan penasaran Awang Gading mencari
asal suara tersebut. Tak lama kemudian, Awang Gading melihat bayi perempuan
tergolek di atas batu. Sepertinya dia baru saja di lahirkan oleh ibunya lalu
ditinggal pergi begitu saja.
"Anak siapa gerangan? kasihan, ditinggal seorang diri di tepi
sungai," gumam Awang Gading kemudian membawa pulang bayi perempuan
tersebut. Awang Gading memberi nama bayi tersebut Dayang Kumunah. Sejak
kehadiran Dayang, awang bertambah rajin bekerja. Awang memberikan kasih sayang
dan perhatian yang melimpah untuk Dayang. Berbagai pengetahuan yang dimiliki
ditularkannya kepada Dayang. tak lupa pelajaran budi pekerti juga diberikannya.
Kadang diajaknya dayang mencari kayu atau mengail untuk mengenal alam secara
lebih dekat.
Dayang Kumunah tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik dan berbudi. Dia
juga rajin membantu bapaknya. Sayang, Dayang Kumunah tidak pernah tertawa.
Suatu hari, seorang pemuda kaya bernama Awangku Usop singgah di rumah Awang
Gading. Dia terpesona saat melihat kecantikan Dayang Kumunah. Tak lama
kemudian Awangku Usop melamar Dayang pada Awang Gading. Lamaran Awangku Usop
diterima, tetapi Dayang Kumunah mengajukan syarat, "Kanda Usop, sebenarnya
kita berasal dari dua dunia yang berbeda. Saya berasal dari sungai dan
mempunyai kebiasaan yang berlainan dengan manusia. Saya akan menjadi istri yang
baik, tetapi jangan minta sata untuk tertawa,"pinta Dayang Kumunah.
Awangku Usop menyetujui syarat tersebut.
Pernikahan mereka diadakan dengan pesta yang sangat meriah, semua tetangga
dan kerabat kedua mempelai di undang. Aneka hidangan tersedia dengan melimpah.
Seluruh undangan gembira menyaksikan pasangan pengantin itu. Dayang Kumunah
gadis yang sangat cantik dan Awangku Usop seorang pemuda yang sangat tampan.
Sungguh pasangan yang serasi.
Awangku Usop dan Dayang Kumunah hidup berbahagia. Namun kebahagiaan mereka
tak berlangsung lama. Beberapa minggu setelah pernikahan, Awang gading
meninggal dunia. Hingga berbulan-bulan Dayang Kumunah bersedih meskipun Awangku
Usop selalu berusaha membahagiakan hati istrinya tersebut. Untunglah, kesedihan
Dayang Kumunah segera terobati dengan kelahiran anak-anaknya yang berjumlah
lima orang. Meskipun kini telah memiliki lima orang anak, Awangku Usop merasa
kebahagiaannya belum lengkap sebelum melihat Dayang Kumunah tertawa.
Suatu hari, anak bungsu mereka mulai dapat berjalan dengan tertatih-tatih. Semua anggota keluarga tertawa bahagia melihatnya,
kecuali Dayang Kumunah. Awangku Usop meminta Dayang kumunah untuk tertawa,
Dayang Kumunah menolaknya, namun suaminya terus mendesak. Akhirnya, Dayang pun
tertawa. Saat tertawa itu, tampaklah insang di mulut Dayang Kumunah yang
menandakan ia keturunan ikan. Setalah itu, dayang segera berlari ke sungai,
Awangku Usop beserta anak-anaknya heran dan mengikutinya. Perlahan-lahan tubuh
Dayang berubah menjadi ikan. Awangku Usop dan anak-anaknya ditinggalkannya.
Awangku Usop telah mengingkari janjinya dengan meminta Dayang Kumunah tertawa.
Awangku Usop
segera menyadari kekhilafannya dan meminta maaf. Dia meminta Dayang Kumunah
kembali ke rumah mereka. Namun, semua sudah sudah terlambat. Dayang Kumunah
telah tejun ke sungai. Dia telah menjadi ikan dengan bentuk badan cantik dan
kulit mengilat tanpa sisik. Mukanya menyerupai raut manusia. Ekornya
seolah-olah sepasang kaki yang bersilang. Orang-orang menyebutnya ikan patin.
Awangku Usop
dan anak-anaknya sangat bersedih. Mereka berjanji tidak akan makan ikan patin
karena di anggap sebagai keluarga mereka. Itulah sebabnya orang Melayu yang
tidak makan ikan patin.
7. KEPULAUAN BANGKA BELITUNG (Bujang Katak)
Konon di
zaman dahulu kala ada sebuah dusun di Bangka Belitung hiduplah seorang nenek
tua yang sangat miskin......maka untuk menyambung hidupnya ia berladang yang
juga merupakan peninggalan orang tuanya.
Nenek tua
ini hidup sebatang kara dan saat orang orang sibuk bercocok tanam pada musim
tanam si nenek yang tubuhnya juga sudah lemah lebih banyak menghabiskan waktu
untuk beristirahat sembari ia kadang kadang menggarap ladangnya,dalam
istirahatnya ia berkhayal ingin punya seorang anak.
Ia berfikir
jika memiliki seorang anak maka ia tidak akan selelah ini untuk menggarap
ladangnya sendirian.Saat siang pun datang ia memilih pulang ke gubuk reotnya
untuk benar benar beristirahat...
Saat itu ia
duduk duduk didepan gubuknya sembari matanya menerawang kembali memikirkan
khayalannya yang juga disertai doa agar Tuhan mengabulkan pintanya untuk
mempunyai seorang anak walaupun hanya berbentuk seperti katak.
Tiga hari
kemudian nenek tua tersebut merasa ada yang aneh dalam perutnya ,seperti ada
benda yang bergerak gerak dan ternyata Tuhan mengabulkan doanya karena nenek
tua itu sedang mengandung.
Terdengarlah
kabar itu oleh penduduk kampung yang berfikiran bagaimana bisa nenek tua yang
tanpa suami itu bisa mengandung,mereka berfikir nenek tua itu sudah melakukan
hal hal yang dilarang alias tidak senonoh.
Nenek tua
itu selalu menjadi bahan pembicaraan penduduk dengan tuduhan yang tidak
tidak.Tapi ia hanya bersabar dan pada suatu malam terdengar teriakan dari dalam
gubuk reot nenek tua yang ternyata ingin melahirkan.Berdatanganlah para warga
namun belum sempat mereka masuk ke gubuk reot sudah terdengar tangisan bayi
yang merupakan bayi nenek tua renta itu.Sang bayi lahir dalam bentuk tubuh yang
mirip katak lalu menjadi bahan ejekan warga yang mengatakan bahwa nenek tua itu
sudah berhubungan dengan katak hingga bayinya mirip seperti katak.Namun
perempuan tua itu menceritakan kisahnya kepada warga perihal kelahiran putranya
hingga akhirnya para warga kembali kerumahnya masing masing.
Walaupun putranya lahir dalam keadaan seperti katak tapi perempuan tua itu
tetap bersyukur kepada Tuhan dan berjanji merawat dan menyayangi anaknya
sepenuh hati.
Hari hari
terus berlalu tanpa terasa putranya semakin dewasa dan penduduk kampung
memanggilnya bujang katak karena badannya yang mirip katak.Bujang katak dalam
kesehariannya sangatlah rajin dan tidak pernah keluar rumah kecuali membantu
ibunya berladang.
Ibunya tidak
pernah menceritakan tentang asal usulnya lahir namun suatu hari bujang katak
ingin ibunya menceritakan tentang keadaan negerinya tersebut maka berceritalah
ibunya .
Ibunya
mengatakan bahwa negerinya ini dipimpin seorang Raja yang mempunya 7
puteri yang cantik cantik.Mendengar hal tersebut bujang katak langsung
berkhayal andai ia bisa mempersunting salah satu dari mereka untuk menjadi
pendamping hidupnya.
Akhirnya
bujang katak pun memberanikan diri mengungkapkan keinginannya pada
ibunya.Alangkah terkejutnya ibu bujang katak saat mendengar keinginanya,karena
mustahil baginya untuk mendapatka puteri raja dengan kedaan tubuhnya yang
mirip katak.
Tapi karena
Bujang katak terus memohon maka sang ibu pun memberanikan diri untuk datang
keistana Raja untuk menyampaikan niatnya.
Maka
keesokan harinya datanglah sang ibu ke istana raja untuk menyampaikan
niatnya.....Sesampainya disana karena tak berani langsung bicara pada Raja
tentang keinginanya maka ibunya berpantun "Te...sekate menjadi
gelang.Pe...Setempe nek madeh pesen Urang..."
Sang raja
mengerti maksud perempuan tua tersebut lalu memanggil ke 7 puterinya yang
cantik cantik.Namun alangkah sedihnya nasib nenek tua yang bukannya mendapatkan
perlakuan sopan malah diludahi satu persatu oleh puteri puteri raja itu kecuali
si bungsu yang tak tega melihat perlakuan kakak kakak nya....Melihat kejadian
itu nenek tua pun pulang dan menceritakan hal itu pada puteranya bujang katak.
Bujang katak saat mendengar hal tersebut merasa sedih dan iba pada ibunya tapi
ia tetap punya harapan dalam hati karena ia yakin puteri bungsu mau menerima lamarannya
karena puteri bungsu tidak melakukan hal hal yang dilakukan oleh puteri puteri
yang lainnya.Maka datanglah bujang katak berserta ibunya kembali ke istana
Raja.
Keesokan hari saat bujang katak dan ibunya kembali ke istana raja maka
tertawalah raja dan para pengawalnya sembari mengejek bujang katak yang
badannya mirip katak.Sembari kembali memanggilkan puteri puterinya dan hal yang
sama dilakukan oleh puteri puteri raja yaitu meludahi bujang katak kecuali sang
bungsu.Dalam hati sang bungsu ingin menerima pinangan bujang katak namun ia
takut mengungkapkan itu pada ayahandanya.Sang Rajapun heran kenapa puteri
bungsunya tidak meludahi bujang katak lalu mengerti apa maksud puterinya .
Sang Raja
akhirnya memberikan kesempatan pada bujang katak namun dengan mengajukan
persyaratan yang tidak masuk akal dan sangat berat agar puterinya tidak bisa
dipinang bujang katak yaitu dengan membuat jembatan emas dari gubuknya ke
istana Raja dalam waktu tujuh hari tujuh malam.Setelah mendengar hal itu bujang
katak pun menyetujuinya.
Pulanglah bujang katak dan ibunya kembali ke gubuk....Ibunya bertanya pada
puteranya bagaimana ia bisa mewujudkan syarat yang tak mungkin itu namun bujang
katak berusaha meyakinkan bahwa jika Tuhan berkehendak maka tak ada yang
tak mungkin.
Pergilah
bujang katak kesuatu tempat yang sepi untuk bertapa.....6 hari 6 malam sudah ia
lewati namun belum juga ada keajaiban....di hari ketujuh keajaiban yang
dinantikan itu datang,tubuhnya yang seperti katak tiba tiba menguning bersinar
keemasan dan mengelupas.Bujang katak berubah menjadi pemuda yang tampan dan
gagah.Lalu kulitnya yang mengelupas itu pun berubah menjadi emas dan saat ia
kumpulkan berubah menjadi batangan batangan emas.Sungguh keajaiban yang luar
bisa dan bujang katak sangat bersyukur pada Yang Maha Kuasa.
Lalu malam
itu juga ia mangajak ibunya itu menyusun batangan emas itu menjadi jembatan
dari gubuknya hingga istana Raja.
Saat pagi
tiba sang Raja pun terkagum melihat jembatan yang dibuat bujang katak lalu
memanggil bujang katak dan ibunya kembali ke istana.Ibu bujang katak beserta
bujang katak kembali ke istana namun alangkah kagetnya Sang Raja melihat pemuda
yang begitu tampan disebelah perempuan tua yang tak lain adalah ibu bujang
katak.Sang raja lalu bertanya siapakah pemuda tampan itu dan pemuda itupun
menjawab bahwa ia adalah bujang katak.Dipanggillah puteri bungsu raja dan
puteri puteri lainya .....Alangkah bahagianya putrei bungsu karena bujang katak
adalah pilihan tepat untuknya dan langsung meminangnya.Kakak Kakak puteri bungsupun
menyesal karena telah menolak dan meludahi bujang katak .Akhirnya pernikahan
pun dilangsungkan dengan mengadakan pesta tujuh hari tujuh malam.Kakak Kakak
puteri bungsupun akhirnya menyuruh para pengawal untuk menangkap katak katak
yang ada disawah karena mereka berfikir bahwa bujang katak berasal dari katak
katak biasa di sawah.
Mereka
masing masing menyimpan satu katak dalam lemari berharap 7 hari kemudian
berubah menjadi pria tampan.Namun alangkah terkejutnya mereka ketika membuka
lemari bau busuk langsung menyebar seistana karena katak katak itu mati dan
berulat.Keenam puteri tersebut berlari keluar kamar sambil muntah muntah karena
bau busuk tersebut.Sang Raja yang mengetahui perbuatan ke enam puterinya
akhirnya memberi hukuman untuk membersihkan kamar mereka masing masing.Sang
Puteri bungsu hanya tersenyum melihat kelakuan kakak kakaknya . Waktu berlalu
dan Sang Raja merasa semakin tua dan akhirnya menyerahkan Tahtanya kepada
bujang Katak.Mereka hidup bahagia dalam istana....Bujang katak Ibunya Puteri
bungsu dan keluarga Raja lainnya.
Bujang katak menjadi Raja yang
bijaksana dalam memimpin rakyatnya.
Cerita ini
hanyalah dongeng namun memiliki pesan pesan moral bahwa kita tidak boleh
merendahkan orang lain dan tidak bertindak bodoh.
8. BENGKULU (Legenda Ular n’Daung)
Dahulu kala,
di kaki sebuah gunung di daerah Bengkulu hiduplah seorang wanita tua dengan
tiga orang anaknya. Mereka sangat miskin dan hidup hanya dari penjualan hasil
kebunnya yang sangat sempit. Pada suatu hari perempuan tua itu sakit keras.
Orang pintar
di desanya itu meramalkan bahwa wanita itu akan tetap sakit apabila tidak
diberikan obat khusus. Obatnya adalah daun-daunan hutan yang dimasak dengan
bara gaib dari puncak gunung.
Alangkah
sedihnya keluarga tersebut demi mengetahui kenyataan itu. Persoalannya adalah
bara dari puncak gunung itu konon dijaga oleh seekor ular gaib. Menurut cerita
penduduk desa itu, ular tersebut akan memangsa siapa saja yang mencoba
mendekati puncak gunung itu.
Diantara
ketiga anak perempuan ibu tua itu, hanya si bungsu yang menyanggupi persyaratan
tersebut. Dengan perasaan takut ia mendaki gunung kediaman si Ular n’Daung.
Benar seperti cerita orang, tempat kediaman ular ini sangatlah menyeramkan.
Pohon-pohon sekitar gua itu besar dan berlumut. Daun-daunnya menutupi sinar
matahari sehingga tempat tersebut menjadi temaram.
Belum habis
rasa khawatir si Bungsu, tiba-tiba ia mendengar suara gemuruh dan raungan yang
keras. Tanah bergetar. Inilah pertanda si Ular n’Daung mendekati gua
kediamannya. Mata ular tersebut menyorot tajam dan lidahnya
menjulur-julur. Dengan sangat ketakutan si Bungsu mendekatinya dan
berkata, “Ular yang keramat, berilah saya sebutir bara gaib guna memasak obat
untuk ibuku yang sakit. Tanpa diduga, ular itu menjawab dengan ramahnya, “bara
itu akan kuberikan kalau engkau bersedia menjadi isteriku!”
Si Bungsu
menduga bahwa perkataan ular ini hanyalah untuk mengujinya. Maka iapun
menyanggupinya. Keesokan harinya setelah ia membawa bara api pulang, ia pun
menepati janjinya pada Ular n’Daung. Ia kembali ke gua puncak gunung untuk
diperisteri si ular.
Alangkah
terkejutnya si bungsu menyaksikan kejadian ajaib. Yaitu, pada malam harinya,
ternyata ular itu berubah menjadi seorang ksatria tampan bernama Pangeran Abdul
Rahman Alamsjah.
Pada pagi harinya ia akan kembali menjadi ular. Hal itu disebabkan oleh
karena ia disihir oleh pamannya menjadi ular. Pamannya tersebut menghendaki
kedudukannya sebagai calon raja.
Setelah kepergian si bungsu, ibunya menjadi sehat dan hidup dengan kedua
kakaknya yang sirik. Mereka ingin mengetahui apa yang terjadi dengan si Bungsu.
Maka merekapun berangkat ke puncak gunung. Mereka tiba di sana diwaktu malam
hari.
Alangkah kagetnya mereka ketika mereka mengintip bukan ular yang dilihatnya
tetapi lelaki tampan. Timbul perasaan iri dalam diri mereka. Mereka ingin
memfitnah adiknya.
Mereka mengendap ke dalam gua dan mencuri kulit ular itu. Mereka membakar
kulit ular tersebut. Mereka mengira dengan demikian ksatria itu akan marah dan
mengusir adiknya itu. Tetapi yang terjadi justru kebalikannya. Dengan
dibakarnya kulit ular tersebut, secara tidak sengaja mereka membebaskan
pangeran itu dari kutukan.
Ketika menemukan kulit ular itu terbakar, pangeran menjadi sangat gembira.
Ia berlari dan memeluk si Bungsu. Di ceritakannya bahwa sihir pamannya itu akan
sirna kalau ada orang yang secara suka rela membakar kulit ular itu.
Kemudian, si Ular n’Daung yang sudah selamanya menjadi Pangeran Alamsjah
memboyong si Bungsu ke istananya. Pamannya yang jahat diusir dari istana. Si
Bungsu pun kemudian mengajak keluarganya tinggal di istana. Tetapi dua kakaknya
yang sirik menolak karena merasa malu akan perbuatannya.
9. JAMBI (Asal Usul Negeri Jambi)
Pada zaman
dahulu, di Pulau Sumatera ada seorang gadis cantik bernama Putri Pinang Manak.
Putri itu sangat terkenal bukan hanya karena kecantikan, namun juga karena
sifatnya yang lemah-lembut dan baik hati.
Putri Pinang
memiliki kecantikan yang sangat luar biasa. Kulitnya putih kemerah-merahan
seperti namanya, yaitu bagai kulit pinang yang masak. Siapa pun yang melihat
kecantikan sang putrid pasti akan terpesona.
Semua penduduk negeri itu menyukai Putri Pinang. Para wanita, terutama yang
seumur dengannya ingin bersahabat dengannya. Sebaliknya, para pemuda dan
pangeran ingin mempersuntingnya.
Pada suatu hari datanglah lamaran seorang raja yang kaya raya dan amat luas
kekuasaannya. Dia memiliki tambang emas dan perak. Tentu jika lamarannya
ditolak, pasti sang raja akan marah dan murka, bahkan mungkin akan timbul
pertumpahan darah. Namun, dengan demikian tuan putrid tidak menyukai raja
tersebut. Konon karena raja itu berwajah buruk.
Putri Pinang bingung. Ia mencari akal bagaimana cara untuk menggagalkan
lamaran raja. Setelah diam sejenak, Putri Pinang berkata kepada utusan raja,
“Baiklah, lamaran aku terima tetapi ada dua syarat yang harus dipenuhi Sang
Raja.”
“Apa saja syaratnya Tuan Putri?” Tanya utusan raja.
“Syarat pertama, Baginda raja harus dapat membuat istana yang indah dan
megah berikut isi perabotannya hanya dalam waktu satu malam. Mulai terbenam
matahari sampai ayam berkokok bersahut-sahutan.”
“Hamba akan sampaikan, Sang Putri. Kemudian apa syarat yang kedua, Tuan
Putri?” Tanya utusan raja. Tuan putrid menjawab, “Syarat yang kedua, jika
Baginda gagal memenuhi syarat yang pertama, maka dia harus menyerahkan semua
kekayaan dan kerajaannya.”
Begitu mendengar syarat yang kedua, utusan raja itu menjadi merah padam.
Namun demikian, ia tidak dapat berbuat apa-apa. Kemudian utusan raja itu segera
pulang dan menghadap Sang Raja.
Setelah persyaratan yang diajukan Putri Pinang disampaikan kepada Sang
Raja, ia sangat terkejut karena Baginda raja menyanggupi syarat-syarat itu. Begitu Sang Raja menyatakan
kesanggupannya, penasihat raja berkata, “Wahai tuanku! Sadarkah tuan resiko
jika Tuan gagal memenuhi syarat tersebut? Tuan akan kehilangan seluruh kekayaan
alam dan kerajaannya.”
“Tidak mengapa, bukankah sudah lama aku hidup seorang diri. Kini saatnya aku mengambil
seorang permaisuri. Aku sangat mencintai Putri Pinang dan saya yakin dapat
memenuhinya.”
Kemudian Sang Raja mengumpulkan rakyat dan ahli pertukangan di kerajaan.
Bahkan ia menyewa dan berani membayar mahal para tukang dari luar negeri agar
pekerjaannya cepat selesai. Para tukang diperintah bekerja keras dan cepat
karena istana tersebut harus selesai dalam waktu satu malam.
Pembangunan istana mulai dilaksanakan tepat ketika matahari terbenam.
Beribu-ribu tukang pandai dikerahkan sehingga terlihat terang benderang. Setiap
saat raja berkeliling memeriksa orang-orang yang sedang bekerja.
Raja tampak bahagia karena tepat tengah malam separuh pembangunan istana
telah selesai dengan sempurna. Sebaliknya, Putri Pinang merasa sangat cemas dan
khawatir. Sebab permintaannya untuk membuat istana dalam waktu satu malam
hanyalah sekadar alas an yang dicari-cari belaka. Hal ini ia lakukan agar raja
tidak menikahinya.
Sang Raja bertambah bahagia ketika menjelang pagi dan istana hampir jadi.
Sebaliknya, Tuan Putri semakin cemas dan bingung. Makan tidak enak dan tidur
pun tidak nyenyak. Ia terus mencari akal dan tiba-tiba Tuan Putri mendapatkan
akal. Kemudian ia pergi ke kandang ayam. Ayam-ayam itu mengira hari telah
siang. Ayam-ayam itu pun berkokok berulang-ulang. Raja yang sedang memeriksa
rakyat dan para pekerja yang sedang bekerja itu terkejut.
Dengan sangat berat hati Bagina berkata kepada rakyatnya dan para tukang,
“Sudah, hentikan pekerjaan ini!”
“Mengapa, Baginda? Bukankah pekerjaan kita sudah hampir selesai?” Tanya salah seorang pekerja.
“betul katamu, tapi kita telah kalah. Dalam perjanjian, istana ini sudah
harus selesai sebelum ayam berkokok,” jawab Baginda.
“Tetapi, sebenarnya hari belum pagi, tidak seharusnya ayam-ayam berkokok.
Sungguh aneh …!” ujar para tukang.
“Sudahlah, kembalilah kalian ke tempat masing-masing. Kita sudah gagal
memenuhi persyaratan Putri Pinang. Sebagaimana dalam perjanjian, batas
selesainya adalah sampai ayam berkokok bersahut-sahutan”, demikian kata raja.
Dengan perasaan kecewa dan terpaksa, para pekerja akhirnya menghentikan
semua pekerjaan. Mereka kembali ke negeri asal masing-masing. Baginda raja tetap berdiri di
tempat semula. Hatinya hancur.
Dari balik bangunan istana yang belum jadi, Putri Pinang datang menemui
Baginda raja. Ia berkata, “Baginda, Anda telah gagal memenuhi syarat saya maka
sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat, Baginda harus menyerahkan seluruh
harta dan kerajaan.”
Akhirnya,
Baginda raja menyerahkan segala kekayaan dan kerajaannya kepada Putri Pinang.
Sejak saat itu negeri timur berubah nama menjadi negeri Putri Pinang. Dan gadis cantik itu menjadi rajanya.
Orang-orang dari negeri lain menyebut negeri itu sebagai Negeri Pinang. Sedang
dalam bahasa Jawa, pinang itu berarti jambe. Dari situ para raja di Jawa
menyebut negeri itu sebagai kerajaan Jambe. Lama-lama sebutan Jambe berubah menjadi Jambi.
10. LAMPUNG (Buaya Perompak)
Alkisah,
Sungai Tulang Bawang sangat terkenal dengan keganasan buayanya. Setiap nelayan
yang melewati sungai itu harus selalu berhati-hati. Begitupula penduduk yang
sering mandi dan mencuci di tepi sungai itu. Menurut cerita, sudah banyak
manusia yang hilang begitu saja tanpa meninggalkan jejak sama sekali.
Pada suatu hari, kejadian yang mengerikan itu terulang kembali. Seorang
gadis cantik yang bernama Aminah tiba-tiba hilang saat sedang mencuci di tepi
sungai itu. Anehnya, walaupun warga sudah berhari-hari mencarinya dengan
menyusuri tepi sungai, tapi tidak juga menemukannya. Gadis itu hilang tanpa
meninggalkan jejak sedikit pun. Sepertinya ia sirna bagaikan ditelan bumi. Warga pun berhenti melakukan
pencarian, karena menganggap bahwa Aminah telah mati dimakan buaya.
Sementara itu, di sebuah tempat di dasar sungai tampak seorang gadis
tergolek lemas. Ia adalah si Aminah. Ia baru saja tersadar dari pingsannya.
“Ayah, Ibu, aku ada di mana? gumam Aminah setengah sadar memanggil kedua orangtuanya.
Dengan sekuat tenaga, Aminah bangkit dari tidurnya. Betapa terkejutnya ia
ketika menyadari bahwa dirinya berada dalam sebuah gua. Yang lebih
mengejutkannya lagi, ketika ia melihat dinding-dinding gua itu dipenuhi oleh
harta benda yang tak ternilai harganya. Ada permata, emas, intan, maupun
pakaian indah-indah yang memancarkan sinar berkilauan diterpa cahaya obor yang
menempel di dinding-dinding gua.
“Wah, sungguh banyak perhiasan di tempat ini. Tapi, milik siapa ya?” tanya
Aminah dalam hati.
Baru saja Aminah mengungkapkan rasa kagumnya, tiba-tiba terdengar sebuah
suara lelaki menggema.
“Hai, Gadis rupawan! Tidak usah takut. Benda-benda ini adalah milikku.”
Alangkah terkejutnya Aminah, tak jauh dari tempatnya duduk terlihat
samar-samar seekor buaya besar merangkak di sudut gua.
“Anda siapa? Wujud anda buaya, tapi kenapa bisa berbicara seperti manusia?”
tanya Aminah dengan perasaan takut.
“Tenang, Gadis cantik! Wujudku memang buaya, tapi sebenarnya aku adalah
manusia seperti kamu. Wujudku dapat berubah menjadi manusia ketika purnama
tiba.,” kata Buaya itu.
“Kenapa wujudmu berubah menjadi buaya?” tanya Aminah ingin tahu.
“Dulu, aku terkena kutukan karena perbuatanku yang sangat jahat. Namaku
dulu adalah Somad, perampok ulung di Sungai Tulang Bawang. Aku selalu merampas
harta benda setiap saudagar yang berlayar di sungai ini. Semua hasil rampokanku
kusimpan dalam gua ini,” jelas Buaya itu.
“Lalu, bagaimana jika Anda lapar? Dari mana Anda memperoleh makanan?” tanya
Aminah.
“Kalau aku butuh makanan, harta itu aku jual sedikit di pasar desa di tepi
Sungai Tulang Bawang saat bulan purnama tiba. Tidak seorang penduduk pun yang
tahu bahwa aku adalah buaya jadi-jadian. Mereka juga tidak tahu kalau aku telah
membangun terowongan di balik gua ini. Terowongan itu menghubungkan gua ini
dengan desa tersebut,” ungkap Buaya itu.
Tanpa disadarinya, Buaya Perompak itu telah membuka rahasia gua tempat
kediamannya. Hal itu tidak disia-siakan oleh Aminah. Secara seksama, ia telah
menyimak dan selalu akan mengingat semua keterangan yang berharga itu, agar
suatu saat kelak ia bisa melarikan diri dari gua itu.
“Hai, Gadis Cantik! Siapa namamu?” tanya Buaya itu.
“Namaku Aminah. Aku tinggal di sebuah dusun di tepi Sungai Tulang Bawang,”
jawab Aminah.
“Wahai, Buaya! Bolehkah aku bertanya kepadamu?” tanya Aminah
“Ada apa gerangan, Aminah? Katakanlah!” jawab Buaya itu.
“Mengapa Anda menculikku dan tidak memakanku sekalian?” tanya Aminah heran.
“Ketahuilah, Aminah! Aku membawamu ke tempat ini dan tidak memangsamu,
karena aku suka kepadamu. Kamu adalah gadis cantik nan rupawan dan lemah
lembut. Maukah Engkau tinggal bersamaku di dalam gua ini?” tanya Buaya itu.
Mendengar pertanyaan buaya itu, Aminah jadi gugup. Sejenak, ia terdiam dan
termenung.
“Ma… maaf, Buaya! Aku tidak bisa tinggal bersamamu. Orangtuaku pasti akan
mencariku,” jawab Aminah menolak.
Agar Aminah mau tinggal bersamanya, buaya itu berjanji akan memberinya
hadiah perhiasan.
“Jika Engkau bersedia tinggal bersamaku, aku akan memberikan semua harta
benda yang ada di dalam gua ini. Akan tetapi, jika kamu menolak, maka aku akan
memangsamu,” ancam Buaya itu.
Aminah terkejut mendengar ancaman Buaya itu. Namun, hal itu tidak
membuatnya putus asa. Sejenak ia berpikir mencari jalan agar dirinya bisa
selamat dari terkaman Buaya itu.
“Baiklah, Buaya! Aku bersedia untuk tinggal bersamamu di sini,” jawab
Aminah setuju.
Rupanya, Aminah menerima permintaan Buaya itu agar terhindar dari acamana
Buaya itu, di samping sambil menunggu waktu yang tepat agar bisa melarikan diri
dari gua itu.
Akhirnya, Aminah pun tinggal bersama Buaya Perompak itu di dalam gua.
Setiap hari Buaya itu memberinya perhiasan yang indah dan mewah. Tubuhnya yang
molek ditutupi oleh pakaian yang terbuat dari kain sutra. Tangan dan lehernya
dipenuhi oleh perhiasan emas yang berpermata intan.
Pada suatu hari, Buaya Perompak itu sedikit lengah. Ia tertidur pulas dan
meninggalkan pintu gua dalam keadaan terbuka. Melihat keadaan itu, Aminah pun
tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan.
“Wah, ini kesempatan baik untuk keluar dari sini,” kata Aminah dalam hati.
Untungnya Aminah sempat merekam dalam pikirannya tentang cerita Buaya itu
bahwa ada sebuah terowongan yang menghubungkan gua itu dengan sebuah desa di
tepi Sungai Tulang Bawang. Dengan sangat hati-hati, Aminah pun keluar sambil
berjingkat-jingkat. Ia sudah tidak sempat berpikir untuk membawa harta benda
milik sang Buaya, kecuali pakaian dan perhiasan yang masih melekat di tubuhnya.
Setelah beberapa saat mencari, Aminah pun menemukan sebuah terowongan yang
sempit di balik gua itu dan segera menelusurinya. Tidak lama kemudian, tak jauh
dari depannya terlihat sinar matahari memancar masuk ke dalam terowongan. Hal
itu menandakan bahwa sebentar lagi ia akan sampai di mulut terowongan. Dengan
perasaan was-was, ia terus menelusuri terowongan itu dan sesekali menoleh ke
belakang, karena khawatir Buaya Perompak itu terbangun dan membututinya. Ketika
ia sampai di mulut terowongan, terlihatlah di depannya sebuah hutan lebat.
Alangkah senangnya hati Aminah, karena selamat dari ancaman Buaya Perompak itu.
“Terima kasih Tuhan, aku telah selamat dari ancaman Buaya Perompak itu,”
Aminah berucap syukur.
Setelah itu, Aminah segera menyusuri hutan yang lebat itu. Setelah beberapa
jauh berjalan, ia bertemu dengan seorang penduduk desa yang sedang mencari
rotan.
“Hai, Anak Gadis! Kamu siapa? Kenapa berada di tengah hutan ini seorang diri?” tanya penduduk desa itu.
“Aku Aminah, Tuan!” jawab Aminah.
Setelah itu, Aminah pun menceritakan semua peristiwa yang dialaminya hingga
ia berada di hutan itu. Oleh karena merasa iba, penduduk desa itu pun mengantar
Aminah pulang ke kampung halamannya. Sesampai di rumahnya, Aminah pun
memberikan penduduk desa itu hadiah sebagian perhiasan yang melekat di tubuhnya
sebagai ucapan terima kasih.
Akhirnya, Aminah pun selamat kembali ke kampung halamannya. Seluruh
penduduk di kampungnya menyambutnya dengan gembira. Ia pun menceritakan semua
kejadian yang telah menimpanya kepada kedua orangtuanya dan seluruh warga di
kampungnya. Sejak itu, warga pun semakin berhati-hati untuk mandi dan mencuci
di tepi Sungai Tulang Bawang.
11. DKI JAKARTA (Si Pitung)
Si Pitung
adalah seorang pemuda yang soleh dari Rawa Belong. Ia rajin belajar mengaji pada
Haji Naipin. Selesai belajar mengaji ia pun dilatih silat. Setelah bertahun-
tahun kemampuannya menguasai ilmu agama dan bela diri makin meningkat.
Pada waktu itu Belanda sedang menjajah Indonesia. Si Pitung merasa iba
menyaksikan penderitaan yang dialami oleh rakyat kecil. Sementara itu, kumpeni
(sebutan untuk Belanda), sekelompok Tauke dan para Tuan tanah hidup bergelimang
kemewahan. Rumah dan ladang mereka dijaga oleh para centeng yang galak.
Dengan dibantu oleh teman-temannya si Rais dan Jii, Si Pitung mulai
merencanakan perampokan terhadap rumah Tauke dan Tuan tanah kaya. Hasil rampokannya
dibagi-bagikan pada rakyat miskin. Di depan rumah keluarga yang kelaparan
diletakkannya sepikul beras. Keluarga yang dibelit hutang rentenir diberikannya
santunan. Dan anak yatim piatu dikiriminya bingkisan baju dan hadiah lainnya.
Kesuksesan si Pitung dan kawan-kawannya dikarenakan dua hal. Pertama, ia
memiliki ilmu silat yang tinggi serta dikhabarkan tubuhnya kebal akan peluru.
Kedua, orang-orang tidak mau menceritakan dimana si Pitung kini berada. Namun
demikian orang kaya korban perampokan Si Pitung bersama kumpeni selalu berusaha
membujuk orang-orang untuk membuka mulut.
Kumpeni juga menggunakan kekerasan untuk memaksa penduduk memberi
keterangan. Pada suatu hari, kumpeni dan tuan-tuan tanah kaya berhasil mendapat
informasi tentang keluarga si Pitung. Maka merekapun menyandera kedua orang
tuanya dan si Haji Naipin. Dengan siksaan yang berat akhirnya mereka mendapatkan informasi tentang
dimana Si Pitung berada dan rahasia kekebalan tubuhnya.
Berbekal semua informasi itu, polisi kumpeni pun menyergap Si Pitung. Tentu
saja Si Pitung dan kawan-kawannya melawan. Namun malangnya, informasi tentang
rahasia kekebalan tubuh Si Pitung sudah terbuka. Ia dilempari telur-telur busuk
dan ditembak. Ia pun tewas seketika.Meskipun demikian untuk Jakarta, Si Pitung tetap
dianggap sebagai pembela rakyat kecil.
12. BANTEN (Pangeran Pande
Gelang dan Putri Cadasari)
DI tengah sebidang kebun manggis, seorang putri yang cantik jelita duduk
termenung. Sorot matanya kosong, bibirnya terkatup rapat menandakan dia sedang bermuram
durja.
Tidak jauh dari tempat sang Putri duduk, melintaslah seorang lelaki paruh
baya dengan karung di pundaknya. Lelaki itu tertegun sesaat manakala melihat
sang Putri. Wajah lelaki itu tampak penuh kekhawatiran.
"Sampurasun," sapanya.
Sang Putri tak menyahut. Dia benar-benar larut dalam kesedihannya, sehingga
tidak menyadari kehadiran lelaki itu.
"Sampurasun," Lelaki itu mengulang sapa.
"Ra... rampes," Sang Putri terkejut. "Si... siapa?"
"Maaf jika saya telah mengejutkan Tuan Putri," kata lelaki itu
seraya menundukkan kepalanya.
Sang Putri tidak segera menjawab. Dia memperhatikan penuh seksama lelaki
yang berdiri di hadapannya. Wajah lelaki itu tidaklah tampan, kulitnya pun
legam. Namun Putri merasa yakin, lelaki itu adalah lelaki baik. Seumpama buah
manggis: hitam dan pahit kulitnya, tapi putih dan manis buahnya.
"Sedari tadi tadi saya perhatikan, Tuan Putri tampak gundah gulana.
Ada apa gerangan?"
"Saya kira tak ada guna menceritakan masalah yang saya hadapi kepada
orang lain."
"Kalau begitu, maafkan saya telah mengganggu Tuan Putri. Saya berharap
Tuan Putri berkenan melupakan pertanyaan saya tadi," ujar lelaki itu
seraya hendak berlalu.
"Tunggu, Kisanak. Jangan pergi dulu!" Sang Putri mencegah.
Lelaki itu mengurungkan niatnya. Sejenak dia melirik sang Putri.
"Sekali lagi maafkan saya," pinta sang Putri. "Bukan maksud saya
menyinggung perasaan Kisanak, apalagi menganggap rendah."
Beberapa saat sang Putri terdiam. Kemudian tiba-tiba saja matanya membasah. Sang
Putri menangis.
Lelaki itu duduk di dekat sang Putri. Hatinya diliputi keingintahuan yang
besar tentang apa yang sebenarnya terjadi.
"Siapa nama Kisanak?" tanya sang Putri.
"Saya... saya pembuat gelang. Pande gelang. Orang-orang sering memanggil saya
dengan sebutan Ki Pande."
"Baiklah, Ki Pande. Saya akan bercenta, mudah-mudahan cerita saya akan
menghilangkan penasaran Ki Pande. Selama ini saya tidak pernah menceritakan
masalah ini kepada orang lain karena saya merasa hanya akan sia-sia belaka.
Tidak akan ada seorang pun yang bisa membantu saya," jelas sang Putri
dengan mata berkaca-kaca.
"Tapi mengapa Tuan Putri mau menceritakannya kepada saya?"
"Saya hanya ingin menghilangkan penasaran Ki Pande,"
Ki Pande tidak berkata-kata lagi. Dia hanya menundukkan kepala dengan hati
dipenuhi rasa iba.
"Nama saya Putri Arum ...." sang Putri memulai centanya.
Menurut Putri Arum, dirinya sedang mendapat tekanan dari seorang pangeran
bernama Pangeran Cunihin. Meskipun tampan, Pangeran Cunihin sangatlah bengis
dan kejam. Selain itu, Pangeran Cunihin pun sangat berkuasa dan sakti
mandraguna. Apa pun yang diinginkannya harus terpenuhi. Semua titah tak bisa
berbantah.
"Saya sangat sedih, Ki, karena dia akan menjadikan saya sebagai
istrinya," Putri Arum mengakhiri ceritanya.
"Saya ikut bersedih," Ki Pande tak kuasa menahan airmata.
"Maafkan saya, karena tidak banyak yang bisa saya lakukan untuk membantu
Putri."
"Saya mengerti, Ki. Tidak ada seorang pun yang bisa mengakhiri angkara
Pangeran Cunihin," ujar Putri Arum lirih. "Tadinya saya mengira
wangsit yang saya terima benar adanya."
"Wangsit?" tanya Ki Pande.
"Ya. Menurut wangsit, saya harus menenangkan diri di bukit manggis
ini. Kelak katanya akan ada seorang pangeran yang baik hati, manis budi
pekertinya, dan sakti mandraguna, yang datang menolong saya. Namun penantian
ini hampir sia-sia. Tiga hari lagi Pangeran Cunihin akan datang dan memaksa
saya kawin dengannya. Barangkali ini sudah suratan takdir saya, Ki, sebab
setelah sekian lama, dewa penolong yang hatinya seputih dan semanis buah
manggis itu ternyata tak kunjung tiba," tutur Putri Arum menghiba.
Mendengar hal tersebut, KI Pande mengenyitkan dahi, seolah ada yang tengah
dipikirkannya.
"Oh, tadi Aki mengatakan bahwa tidak banyak yang bisa dilakukan untuk
membantu saya?" tanya Putri Arum, teringat kata-kata Ki Pande.
"Benar," jawab Ki Pande.
"Itu berarti, meskipun sedikit ada yang bisa Aki lakukan untuk
saya!" seru Putri Arum, penuh harap.
"Barangkali itu tidaklah berarti," kata Ki Pande.
"Katakan saja, Ki," Putri Arum penasaran.
"Saya hanya ingin menyumbang saran. Terima saja keinginan Pangeran
Cunihin itu."
"Apa Aki sudah gila? Bagaimana saya mau dipersunting lelaki yang
sangat saya benci?" sergah Putri Arum dengan wajah memerah.
Ki Pande sangat terkejut dengan perubahan itu, tapi dia berusaha tetap
tenang. "Maksud saya, terima saja keinginan dia tapi dengan syarat."
"Dengan syarat?" tanya Putri Arum setengah bergumam.
"Ya, dengan syarat yang sangat susah dipenuhi."
"Hal apa yang tidak bisa dilakukan Pangeran Cunihin? Dia sangat sakti
mandraguna. Laut saja bisa dikeringkannya!"
"Yakinlah, Tuan Putri. Tidak semua orang akan jaya selamanya," Ki
Pande berusaha meyakinkan Putri Arum.
"Kalau begitu, apa syarat yang Aki maksudkan?"
"Pangeran Cunihin harus melubangi batu keramat supaya bisa dilalui
manusia. Kemudian batu tersebut harus diletakkan di pesisir pantai. Semuanya harus
dikerjakan tidak lebih dan tiga hari," Ki Pande menjelaskan.
"Bukankah syarat itu sangat mudah dilakukan oleh Pangeran
Cunihin?"
"Tapi tidak semua orang mau melakukannya. Sebab dengan melubangi batu
keramat, setengah dari kemampuan orang tersebut akan hilang."
"Setelah itu"" tanya Putri Arum.
"Serahkan semuanya kepada saya!"
Mendengar seluruh penjelasan Ki Pande, akhirnya Putri Arum menyetujui. Ki
Pande kemudian mengajak Putri Arum ke tempat tinggalnya, sambil membawa karung
yang berisi alat-alat membuat gelang.
Perjalanan menuju tempat tinggal Ki Pande sangat melelahkan Putri Arum.
Sudah hampir setengah hari perjalanan, mereka belum juga sampai. Putri Arum pun jatuh pingsan di
atas sebuah batu cadas. Orang-orang kampung membantu Ki Pande rnembawa Putn
Arum ke rumah salah seorang penduduk dan merawatnya dengan penuh kasih sayang.
Salah seorang tetua kampung mengatakan bahwa Putri Arum bisa segera pulih jika
minum air gunung yang memancar melalui batu cadas.
Beberapa orang kampung bergegas mencari sumber mata air batu cadas. Dan
keajaiban pun terjadi, Putri Arum kembali sehat setelah meminum air yang
berasal dari batu cadas itu. Penduduk kampung lalu memanggil Putri Arum dengan
sebutan baru yaitu Putri Cadasari.
Sementara itu, Ki Pande tengah menyiapkan rencana baru. Dia membuat gelang
yang sangat besar, yang bisa dilalui manusia. Menurut Ki Pande, gelang tersebut
akan dipasang pada lingkaran lubang batu keramat yang dibuat Pangeran Cunihin.
Waktu yang ditentukan Pangeran Cunihin pun tiba. Dia datang menemui Putri
Cadasari dan menagih jawaban. Putri Cadasan pun mengajukan syarat kepada
Pangeran Cunihin.
"Hahaha, itu syarat yang sangat gampang, Tuan Putri. Tapi apa maksud dari syarat
itu?" tanya Pangeran Cunihin.
Putri Cadasari terkejut mendapat pertanyaan seperti Itu. Tapi dia segera menyembunyian
keterkejutannya. "Saya hanya ingin agar bulan madu kita tidak terganggu,
Pangeran. Duduk di atas batu sambil menikmati birunya laut, bukankah itu sangat
menyenangkan, Pangeran?" jelas Putri Cadasari.
"Wah, Tuan Putri memang sangat romantis!" puji Pangeran Cunihin,
pula.
Tak sampai tiga hari dan tanpa halangan yang berarti, Pangeran Cunihin
berhasil menemukan batu keramat yang disyaratkan. Batu keramat itu kemudian
dibawanya ke sebuah pesisir yang sangat indah. Ki Pande dan Putri Cadasari
diam-diam mengkuti dari kejauhan. Di tempat yang terlindung mereka bersembunyi,
menyaksikan apa yang dilakukan Pangeran Cunihin.
Pangeran Cunihin tampak duduk bersila di hadapan batu keramat. Dengan konsentrasi penuh,
Pangeran Cunihin menempelkan dua telapak tangannya ke batu keramat. Tiba-tiba
tangan Pangeran Cunihin bergetar. Sesaat kemudian batu keramat itu pun retak
dan berjatuhan. Sungguh ajaib, sebuah lubang yang sangat besar tercipta di
tengah batu keramat itu.
"Hahaha, aku berhasil. Tuan Putri akan segera menjadi milikku!"
Pangeran Cunihin mengangkat kedua tangannya seraya berlari mencari Putri
Cadasari.
Kesempatan itu tak disia-siakan Ki Pande untuk memasang gelang besar pada
batu keramat yang telah berlubang Itu. Setelah itu dia kembali hendak
bersembunyi, tapi didengarnya sebuah bentakan keras.
"Heh tua bangka, sedang apa kau di sini?!"
Ternyata Pangeran Cunihin telah berada kembali di situ, bersama Putri
Cadasari.
"0, aku tahu. Rupanya kau sedang mengagumi mahakaryaku. Bukankah aku
pernah mengatakan kepadamu bahwa kau tidak pantas menjadi pemenang. Kau hanya
pantas menjadi pecundang! Hahaha!" Pangeran Cunihin tertawa puas.
"Lihatlah, sang Putri telah menjadi milikku. Kau tidak bisa lagi
memilikinya!"
Putri Cadasari terkejut heran mendengar omongan Pangeran Cunihin, seolah
telah mengenal Ki Pande sebelumnya. Namun belum lagi keheranan itu terjawab,
Pangeran Cunihin telah menarik tangan Putri Cadasari untuk melihat batu keramat
yang telah berlubang itu.
"Tuan putri, lihatlah! Keinginan Tuan Putri telah terwujud. Sebuah
batu besar berlubang di pesisir pantai. Sungguh sebuah tempat yang indah dan
romantis," kata Pangeran Cunihin.
Putri Cadasari berusaha bersikap tenang dan mencoba menunjukkan
kegembiraan, w alau di dalam hatinya dia merasa sangat takut impian buruknya
menjadi pendamping Pangeran Cunihin akan menjadi kenyataan.
"Apa karena terlalu gembira saya seakan tidak bisa melihat bahwa batu
ini telah berlubang?" kata Putri Cadasan.
"Hm, baiklah. Jika Tuan Putri tidak percaya, saya akan melewati batu
ini untuk membuktikannya," jawab Pangeran Cunihin.
Tanpa berpikir panjang, Pangeran Cunihin kemudian berjalan melewati lubang
batu keramat itu. Tapi tiba-tiba Pangeran Cunihin merasakan tubuhnya sakit luar
biasa. Dia berteriak-teriak sekuat tenaga. Suaranya memecah angkasa. Lalu
seluruh kekuatannya pun menghilang. Dia terduduk lemah, tak kuasa berdiri.
Perlahan, Pangeran Cunihin berubah menjadi seorang tua renta tanpa daya, seolah
telah melewati lorong waktu. Sementara itu, KI Pande pun berubah menjadi
seorang pemuda tampan.
"Bagaimana semua ini bisa terjadi?" Putri Cadasari tidak mengerti
menyaksikan keanehan-keanehan itu.
"Sebenarnya ini semua akibat perbuatan Pangeran Cunihin. Dulu kami berteman. Tapi setelah
mendapat kesaktian dari guru, dia mencuri seluruh ilmu dan kesaktian saya, lalu
menjadikan saya sebagai seorang yang sudah tua. Saya kemudian mencari kesaktian
untuk mengembalikan keadaan saya. Ternyata hanya satu yang bisa mengembalikan
keadaan itu, yakni Jika Pangeran Cunihin melewati gelang-gelang buatan
saya," terang Ki Pande seraya menatap ke arah Pangeran Cunihin yang
terkulai tak berdaya.
"Kini saya telah kembali seperti sedia kala. Ini semua karena jasa
Tuan Putri. Untuk itu saya menghaturkan terima kasih," ujar Pangeran Pande
Gelang, menggenggam tangan Putri Cadasari.
"Ah, sayalah yang seharusnya berterima kasih, Pangeran. Ternyata
wangsit yang saya terima itu memang benar."
Akhirnya, keduanya meninggalkan batu keramat berlubang itu. Beberapa waktu
kemudian mereka pun menikah dan hidup berbahagia sampai akhir hayatnya.
Tempat mengambil batu keramat tersebut kemudian dikenal dengan kampung
Kramatwatu, dan batu besar berlubang di pesisir pantai kini dikenal dengan nama
Karang Bolong. Sedangkan tempat sang Putri melaksanakan wangsit di bukit
manggis, kini orang mengenalnya dengan kampung Pasir Manggu. Manggis dalam
bahasa Sunda berarti Manggu dan pasir berarti bukit. Sementara tempat Putri
disembuhkan dari sakitnya sampai kini bernama Cadasari di daerah Pandeglang,
tempat Pangeran Pande Gelang membuat gelang.
13. JAWA BARAT (Asal-Usul Gunung Tangkuban Perahu)
Pada jaman
dahulu, tersebutlah kisah seorang puteri raja di Jawa Barat bernama Dayang
Sumbi.Ia mempunyai seorang anak laki-laki yang diberi nama Sangkuriang.
Anak tersebut sangat gemar berburu.
Ia
berburu dengan ditemani oleh Tumang, anjing kesayangan istana. Sangkuriang
tidak tahu, bahwa anjing itu adalah titisan dewa dan juga bapaknya. Pada suatu
hari Tumang tidak mau mengikuti perintahnya untuk mengejar hewan buruan. Maka
anjing tersebut diusirnya ke dalam hutan. Ketika kembali ke istana, Sangkuriang
menceritakan kejadian itu pada ibunya. Bukan main marahnya Dayang Sumbi begitu
mendengar cerita itu. Tanpa sengaja ia memukul kepala Sangkuriang dengan sendok
nasi yang dipegangnya. Sangkuriang terluka. Ia sangat kecewa dan pergi
mengembaraSetelah kejadian itu, Dayang Sumbi sangat menyesali dirinya. Ia
selalu berdoa dan sangat tekun bertapa. Pada suatu ketika, para dewa memberinya
sebuah hadiah. Ia akan selamanya muda dan memiliki kecantikan abadi.
Setelah
bertahun-tahun mengembara, Sangkuriang akhirnya berniat untuk kembali ke tanah
airnya. Sesampainya disana, kerajaan itu sudah berubah total. Disana dijumpainya
seorang gadis jelita, yang tak lain adalah Dayang Sumbi. Terpesona oleh
kecantikan wanita tersebut maka, Sangkuriang melamarnya. Oleh karena
pemuda itu sangat tampan, Dayang Sumbi pun sangat terpesona padanya.
Pada suatu hari Sangkuriang minta pamit untuk berburu. Ia minta tolong Dayang Sumbi untuk merapikan ikat
kepalanya. Alangkah terkejutnya Dayang Sumbi demi melihat bekas luka di kepala
calon suaminya. Luka itu persis seperti luka anaknya yang telah pergi merantau.
Setelah lama diperhatikannya, ternyata wajah pemuda itu sangat mirip dengan
wajah anaknya. Ia menjadi sangat ketakutan.
Maka
kemudian ia mencari daya upaya untuk menggagalkan proses peminangan itu. Ia
mengajukan dua buah syarat. Pertama, ia meminta pemuda itu untuk membendung
sungai Citarum. Dan kedua, ia minta Sangkuriang untuk membuat sebuah sampan
besar untuk menyeberang sungai itu. Kedua syarat itu harus sudah dipenuhi
sebelum fajar menyingsing.
Malam itu Sangkuriang melakukan tapa. Dengan kesaktiannya ia mengerahkan mahluk-mahluk gaib untuk membantu
menyelesaikan pekerjaan itu. Dayang Sumbi pun diam-diam mengintip pekerjaan
tersebut. Begitu pekerjaan itu hampir selesai, Dayang Sumbi memerintahkan
pasukannya untuk menggelar kain sutra merah di sebelah timur kota.
Ketika
menyaksikan warna memerah di timur kota, Sangkuriang mengira hari sudah
menjelang pagi. Ia pun menghentikan pekerjaannya. Ia sangat marah oleh karena
itu berarti ia tidak dapat memenuhi syarat yang diminta Dayang Sumbi.
Dengan
kekuatannya, ia menjebol bendungan yang dibuatnya. Terjadilah banjir besar
melanda seluruh kota. Ia pun kemudian menendang sampan besar yang dibuatnya.
Sampan itu melayang dan jatuh menjadi sebuah gunung yang bernama “Tangkuban
Perahu.”
14. JAWA TENGAH (Legenda Candi Prambanan)
Alkisah,
pada dahulu kala terdapat sebuah kerajaan besar yang bernama Prambanan.
Rakyatnya hidup tenteran dan damai. Tetapi, apa yang terjadi kemudian? Kerajaan
Prambanan diserang dan dijajah oleh negeri Pengging. Ketentraman Kerajaan
Prambanan menjadi terusik. Para tentara tidak mampu menghadapi serangan pasukan
Pengging. Akhirnya, kerajaan Prambanan dikuasai oleh Pengging, dan dipimpin
oleh Bandung Bondowoso.
Bandung
Bondowoso seorang yang suka memerintah dengan kejam. “Siapapun yang tidak
menuruti perintahku, akan dijatuhi hukuman berat!”, ujar Bandung Bondowoso pada
rakyatnya. Bandung Bondowoso adalah seorang yang sakti dan mempunyai pasukan
jin. Tidak berapa lama berkuasa, Bandung Bondowoso suka mengamati gerak-gerik
Loro Jonggrang, putri Raja Prambanan yang cantik jelita. “Cantik nian putri
itu. Aku ingin dia menjadi permaisuriku,” pikir Bandung Bondowoso.
Esok
harinya, Bondowoso mendekati Loro Jonggrang. “Kamu cantik sekali, maukah kau
menjadi permaisuriku ?”, Tanya Bandung Bondowoso kepada Loro Jonggrang. Loro
Jonggrang tersentak, mendengar pertanyaan Bondowoso. “Laki-laki ini lancang
sekali, belum kenal denganku langsung menginginkanku menjadi permaisurinya”,
ujar Loro Jongrang dalam hati. “Apa yang harus aku lakukan ?”. Loro Jonggrang
menjadi kebingungan. Pikirannya berputar-putar. Jika ia menolak, maka Bandung
Bondowoso akan marah besar dan membahayakan keluarganya serta rakyat Prambanan.
Untuk mengiyakannya pun tidak mungkin, karena Loro Jonggrang memang tidak suka
dengan Bandung Bondowoso.
“Bagaimana,
Loro Jonggrang ?” desak Bondowoso. Akhirnya Loro Jonggrang mendapatkan ide. “Saya
bersedia menjadi istri Tuan, tetapi ada syaratnya,” Katanya. “Apa syaratnya?
Ingin harta yang berlimpah? Atau Istana yang megah?”. “Bukan itu, tuanku, kata
Loro Jonggrang. Saya minta dibuatkan candi, jumlahnya harus seribu buah.
“Seribu buah?” teriak Bondowoso. “Ya, dan candi itu harus selesai dalam waktu
semalam.” Bandung Bondowoso menatap Loro Jonggrang, bibirnya bergetar menahan
amarah. Sejak saat itu Bandung Bondowoso berpikir bagaimana caranya membuat
1000 candi. Akhirnya ia bertanya kepada penasehatnya. “Saya percaya tuanku bias
membuat candi tersebut dengan bantuan Jin!”, kata penasehat. “Ya, benar juga
usulmu, siapkan peralatan yang kubutuhkan!”
Setelah perlengkapan di siapkan. Bandung Bondowoso berdiri di depan altar
batu. Kedua lengannya dibentangkan lebar-lebar. “Pasukan jin, Bantulah aku!”
teriaknya dengan suara menggelegar. Tak lama kemudian, langit menjadi gelap.
Angin menderu-deru. Sesaat kemudian, pasukan jin sudah mengerumuni Bandung
Bondowoso. “Apa yang harus kami lakukan Tuan ?”, tanya pemimpin jin. “Bantu aku
membangun seribu candi,” pinta Bandung Bondowoso. Para jin segera bergerak ke
sana kemari, melaksanakan tugas masing-masing. Dalam waktu singkat bangunan
candi sudah tersusun hampir mencapai seribu buah.
Sementara
itu, diam-diam Loro Jonggrang mengamati dari kejauhan. Ia cemas, mengetahui
Bondowoso dibantu oleh pasukan jin. “Wah, bagaimana ini?”, ujar Loro Jonggrang
dalam hati. Ia mencari akal. Para dayang kerajaan disuruhnya berkumpul dan
ditugaskan mengumpulkan jerami. “Cepat bakar semua jerami itu!” perintah Loro
Jonggrang. Sebagian dayang lainnya disuruhnya menumbuk lesung. Dung… dung…dung!
Semburat warna merah memancar ke langit dengan diiringi suara hiruk pikuk,
sehingga mirip seperti fajar yang menyingsing.
Pasukan jin
mengira fajar sudah menyingsing. “Wah, matahari akan terbit!” seru jin. “Kita harus segera pergi sebelum
tubuh kita dihanguskan matahari,” sambung jin yang lain. Para jin tersebut
berhamburan pergi meninggalkan tempat itu. Bandung Bondowoso sempat heran
melihat kepanikan pasukan jin.
Paginya, Bandung Bondowoso mengajak Loro Jonggrang ke tempat candi. “Candi
yang kau minta sudah berdiri!”. Loro Jonggrang segera menghitung jumlah candi
itu. Ternyata jumlahnya hanya 999 buah!. “Jumlahnya kurang satu!” seru Loro
Jonggrang. “Berarti tuan telah gagal memenuhi syarat yang saya ajukan”. Bandung
Bondowoso terkejut mengetahui kekurangan itu. Ia menjadi sangat murka. “Tidak
mungkin…”, kata Bondowoso sambil menatap tajam pada Loro Jonggrang. “Kalau
begitu kau saja yang melengkapinya!” katanya sambil mengarahkan jarinya pada
Loro Jonggrang. Ajaib! Loro Jonggrang langsung berubah menjadi patung batu.
Sampai saat ini candi-candi tersebut masih ada dan disebut Candi Loro
Jonggrang. Karena terletak di wilayah Prambanan, Jawa Tengah, Candi Loro
Jonggrang dikenal sebagai Candi Prambanan
15. DI YOGYAKARTA (Kali Gajah Wong)
Alkisah, Ki
Sapa Wira adalah seorang abdi dalem Kraton Mataram yang selalu memandikan gajah
milik Sultan Agung yang bernama Kyaii Dwipangga. Suatu ketika, dia sakit bisul
di ketiaknya sehingga tidak bisa bergerak bebas. Terlebih lagi kalau harus
memandikan seekor gajah.
Kemudian, Ki
Sapa Wira pun meminta tolong adik iparnya, Ki Kerti untuk memandikan Kyai
Dwipangga. Sebenarnya, nama lengkapnya adalah Ki Kerti Kertiyuda. Namun, karena
terjangkit polio sejak kecil sehingga berjalan meliuk-liuk pincang (peyok).
Maka ia pun dipanggil Ki Kerti Peyok.
"Kerti,
tolong gantikan aku memandikan Kyai Dwipangga," tukas Ki Sapa Wira.
"Siap,
Ki," jawab Ki Kerti Peyok.
"Tepuk kaki belakangnya, tarik buntutnya," pesan Ki Sapa Wira.
Ki Kerti Peyok manggut-manggut mendengar pesan tersebut.
Pagi-pagi benar, Ki Kerti Peyok berangkat ke kali bersama Kyai Dwipangga.
Di tengah-tengah perjalanan, Ki Kerti Peyok tak lupa memberikan kelapa muda
untuk sarapan Kyai Dwipangga supaya gajah itu patuh kepadanya.
"Nih... untuk kamu makan buat sarapan." Ki Kerti menyodorkan dua
butir kelapa muda yang disambut oleh belalai Kyai Dwipangga.
Tak membutuhkan tempo lama untuk Kyai Dwipangga membelah dua butir
kelapa tersebut. Tinggal dibanting kemudian terbelah. Dan dengan lahap Kyai
Dwipangga memakannya.
Sesudah kelapa tersebut habis dilahap, Ki Kerti memukul-mukulkan cemetinya
ke pantat Kyai Dwipangga supaya gajah itu berendam ke dalam air kali. Digosok-gosoknya gajah tersebut
supaya kotoran-kotoran di tubuhnya hilang. Setelahnya, Ki Kerti membawa pulang
gajah itu.
"Ki, gajahnya sudah saya mandikan sampai bersih," Ki Kerti melapor
kepada Ki Sapa Wira.
"Ya, terima kasih. Oiya, saya harap kamu mau memandikan Kyai Dwipangga
lagi besok. Maklumlah, gajah memang harus sering dimandikan, apalagi kalau
musim kawin seperti sekarang," jawab Ki Sapa Wira.
Seperti hari sebelumnya, keesokan harinya, Ki Kerti membawa Kyai Dwipangga
ke kali untuk dimandikan. Namun, pagi ini berbeda dengan pagi kemarin karena
cuaca terlihat mendung. Meskipun hujan tidak turun.
Dengan sigap, Ki Kerti membawa Kyai Dwipangga menuju ke sungai. Kali ini Ki Kerti kecewa, karena
kali terlihat dangkal. Ki Kerti memilih ke tengah sungai. Menurutnya, tengah
kali lebih dalam. Ketika hendak memandikan Kyai Dwipangga, tiba-tiba terjadi
banjir bandang dari arah utara. Ki Kerti Peyok dan Kyai Dwipangga hanyut
terbawa arus sungai sampai Laut Selatan. Keduanya pun tak bisa diselamatkan.
Demi mengenang peristiwa tersebut, Sultan Agung menamai kali itu "KALI
GAJAH WONG". Karena kali itu telah menghanyutkan gajah dan wong. Konon,
tempat Ki Kerti memandikan Kyai Dwipangga saat ini bersebelahan dengan bonbin
Gembiraloka.
16. JAWA TIMUR (Asal-Usul Kota Banyuwangi)
Pada zaman
dahulu kala ada Subuah kerajaan yang diperintah oleh Raja, Raja tersebut
mempunyai seorang putra bernama "Raden Banterang". Kegemaran Raden
Banterang adalah berburu. Pada suatu hari Raden Banterang pergi berburu di
hutan disertai bersama – sama dengan abdinya. Ketika di tengah hutan Raden
Banterang sedang berjalan sendirian, ia melihat seekor kijang melintas di
depannya, segera mengejar kijang itu hingga masuk hingga masuk ke hutan.
Sehingga Ia terpisah dengan para pengiringnya.
“Kemana
seekor kijang tadi?”, kata Raden Banterang terus mengejar kijang tersebut maka
ia pun makin jauh masuk ke hutan. Hingga Ia tiba di sebuah sungai yang sangat
jernih dan bening airnya. “Hem, segar benar air sungai ini,” Raden Banterang
minum air sungai itu, hingga melegakan dahaganya. Namun di waktu meminum air
tersebut baru, tiba-tiba ia dikejutkan oleh kedatangan seorang gadis cantik
jelita.
Melihat gadis
tersebut Raden Banterang memberanikan diri mendekati gadis cantik itu dan
bertanya. “Siapakah engkau?” tanya Raden Banterang. Raden Banterang pun
memperkenalkan dirinya, dan Gadis cantik itu menyambutnya. “Nama saya Surati
berasal dari kerajaan Klungkung”.
“Saya berada
di tempat ini karena menyelamatkan diri dari serangan musuh. Ayah saya telah
gugur dalam mempertahankan mahkota kerajaan,” Jelasnya. Mendengar cerita gadis
itu, Raden Banterang terkejut bukan kepalang. Melihat penderitaan puteri Raja
Klungkung itu, Raden Banterang segera menolong dan mengajaknya pulang ke
istana. Tak lama kemudian mereka menikah membangun keluarga bahagia.
Pada suatu hari, puteri Raja Klungkung berjalan-jalan sendirian ke luar
istana. “Surati! Surati!”, panggil seorang laki-laki yang berpakaian
compang-camping. Setelah mengamati wajah lelaki itu, ia baru sadar bahwa yang
berada di depannya adalah kakak kandungnya bernama Rupaksa. Maksud kedatangan
Rupaksa adalah untuk mengajak adiknya untuk membalas dendam, karena Raden Banterang
telah membunuh ayahnya. Surati menceritakan bahwa ia mau diperistri Raden Banterang karena ia telah
jatuh cinta kepadanya. Rupaksa marah mendengar jawaban adiknya. Namun, ia
sempat memberikan sebuah kenangan berupa ikat kepala kepada Surati. “Ikat kepala ini harus kau simpan
di bawah tempat tidurmu,” pesan Rupaksa.
Pertemuan Surati dengan kakak kandungnya tidak diketahui oleh Raden
Banterang, dikarenakan Raden Banterang sedang berburu di hutan. Sewaktu Raden
Banterang berada di tengah hutan, ia terkejutkan oleh kedatangan seorang
lelaki. “Tuangku, Raden Banterang. Keselamatan Tuan terancam bahaya yang
direncanakan oleh istri tuan sendiri,” kata lelaki itu. “Tuan bisa melihat
buktinya, dengan melihat sebuah ikat kepala yang diletakkan di bawah tempat
peraduannya. Ikat kepala itu milik lelaki yang dimintai tolong untuk membunuh
Tuan,” jelasnya. Mendengar laporan dari laki laki tersebut Raden Banterang segera pulang ke
istana. Dan dicarinya ikat kepala yang telah diceritakan oleh laki laki yang
menemui di hutan. Setelah di temukan ikat kepala itu, maka di curigailah istrinya.
Karena ketakutan Raden Banterang akan keselamatan dirinya dan kecurigaan
akan istrinya, maka ia berniat jahat terhadap istrinya. Tetapi istrinya pun
menjelaskan bahwa dari mana asal ikat kepala tersebut.
Setelah menjelaskan semua hal tersebut, hati Raden Banterang tidak juga
cair bahkan ia masih saja menganggap istrinya berbohong. Dengan penuh
kekecewaan Surati berkata “Kakahanda ! Jika air sungai ini menjadi bening dan
harum baunya, berarti Adinda tidak bersalah! Tetapi, jika tetap keruh dan bau
busuk, berarti Adinda bersalah!” seru Surati. Raden Banterang menganggap ucapan
istrinya itu mengada-ada. Maka, Raden Banterang segera menghunus keris yang
terselip di pinggangnya. Bersamaan itu pula, Surati melompat ke tengah sungai
lalu menghilang.
Tak lama setelah menghilangnya Surati, terjadi sebuah keajaiban. Bau yang
harum merebak di sekitar sungai. Melihat kejadian itu, Raden Banterang berseru
dengan suara gemetar. “Istriku tidak berdosa!” Dengan sangat menyesalnya Raden
Banterang, meratapi kematian Surati istrinya, dan menyesali kebodohannya.
Sejak saat itu, sungai tersebut menjadi harum baunya, sejak saat itu cerita
ini diangkat menjadi cerita asal usul kota banyuwangi. Banyu artinya air dan
wangi artinya harum. Maka nama Banyuwangi kemudian menjadi nama salah satu kota
di Jawa Timur yaitu Kota Banyuwangi.
17. BALI (Asal-Usul Nama Buleleng dan Singaraja)
Di Bali,
hidup seorang raja yang bergelar Sri Bagening. Sang Raja memiliki banyak
istri, dan istri terakhirnya bernama Ni Luh Pasek. Ni Luh Pasek berasal dari
Desa Panji, dan masih keturunan Kyai Pasek Gobleng. Suatu waktu, Ni Luh
Pasek mengandung. Oleh suaminya, ia dititipkan kepada Kyai Jelantik Bogol.
Tak berapa lama, anaknya pun lahir. Anak itu diberi nama I Gede Pasekan. I
Gede Pasekan mempunyai wibawa besar sehingga sangat dicintai dan dihormati
oleh pemuka masyarakat maupun masyarakat biasa.
Suatu hari,
ketika usianya menginjak dua puluh tahun, ayahnya berkata padanya, “Anakku,
sekarang pergilah engkau ke Den Bukit di daerah Panji.”
“Mengapa
ayah?”
“Karena di
sanalah tempat kelahiran ibumu.”
Sebelum
berangkat, ayah angkatnya memberikan dua buah senjata bertuah, yaitu sebilah
keris bernama Ki Baru Semang dan sebatang tombak bernama Ki Tunjung Tutur.
Dalam perjalanannya, I Gede Pasekan diiringi oleh empat puluh pengawal yang
dipimpin Ki Dumpiung dan Ki Dosot. Ketika sampai di daerah yang disebut
Batu Menyan, mereka bermalam dengan dijaga ketat oleh para pengawal secara
bergantian.
Saat tengah malam, tiba-tiba datang makhluk ajaib penghuni hutan. Dia mengangkat
I Gede Pasekan ke atas pundaknya sehingga I Gede Pasekan dapat melihat pemandangan
lepas ke lautan dan daratan yang terbentang di hadapannya. Ketika dia memandang
ke arah timur dan barat laut, ia melihat pulau yang amat jauh. Ketika melihat ke arah selatan
pemandangannya dihalangi oleh gunung. Setelah makhluk itu pergi kemudian
terdengar bisikan.
“I Gusti, sesungguhnya apa yang telah engkau lihat akan menjadi daerah kekuasaanmu.”
Keesokan harinya rombongan itu melanjutkan perjalanan. Meski sulit dan
penuh rintangan akhirnya rombongan I Gede Pasekan berhasil mencapai tujuan,
yaitu Desa Panji, tempat kelahiran ibunya.
Suatu hari, ada sebuah perahu Bugis yang terdampar di pantai
Panimbangan.Warga setempat yang dimintai tolong tak mampu mengangkatnya.
Keesokan harinya orang Bugis pemilik perahu itu meminta tolong pada I Gede
Pasekan.
“Tolonglah
kami, Tuan. Jika Tuan berhasil mengangkat perahu kami, sebagian muatan itu
akan kami serahkan kepada Tuan sebagai upahnya.”
“Kalau itu
keinginan kalian, saya akan berusaha mengangkat perahu itu,” jawab I Gede
Pasekan.
I Gede Pasekan segera memusatkan pikiran. Dengan kekuatan gaibnya, perahu
yang kandas itu berhasil diangkatnya. Sebagai ungkapan rasa terima kasih,
orang Bugis itu memberikan hadiah berupa setengah dari isi perahu itu kepada I
Gede Pasekan. Di antara hadiah itu terdapat dua buah gong besar. Sejak saat itu
I Gede Pasekan menjadi orang kaya dan bergelar I Gusti Panji Sakti.
Kekuasaan I Gede Pasekan mulai meluas dan menyebar sampai ke mana-mana.
Dia pun mendirikan kerajan baru di Den Bukit. Kira-kira abad ke-17, ibukota kerajaan
itu disebut orang dengan nama Sukasada. Kerajaaan I Gede Pasekan itu berkembang
hingga ke utara. Daerah itu banyak ditumbuhi pohon buleleng. Oleh karena itu,
pusat kerajaan beralih ke wilayah itu. Wilayah itu pun diberi nama Buleleng.
Di Buleleng
dibangun sebuah istana megah yang diberi nama Singaraja. Nama ini menunjukkan
bahwa penghuninya adalah seorang raja yang gagah perkasa laksana singa.
Namun, ada pendapat yang mengatakan bahwa nama Singaraja artinya tempat
persinggahan raja. Barangkali ketika sang Raja masih di Sukasada, sering singgah di sana. Jadi, kata Singaraja berasal dari kata singgah raja.
18. NUSA TENGGARA BARAT (Batu Golog)
Pada jaman dahulu di daerah Padamara dekat Sungai Sawing di Nusa Tenggara
Barat hiduplah sebuah keluarga miskin. Sang istri bernama Inaq Lembain dan sang
suami bernama Amaq Lembain
Mata pencaharian mereka adalah buruh tani. Setiap hari mereka berjalan
kedesa desa menawarkan tenaganya untuk menumbuk padi.
Kalau Inaq Lembain menumbuk padi maka kedua anaknya menyertai pula. Pada
suatu hari, ia sedang asyik menumbuk padi. Kedua anaknya ditaruhnya diatas
sebuah batu ceper didekat tempat ia bekerja.
Anehnya, ketika Inaq mulai menumbuk, batu tempat mereka duduk makin lama
makin menaik. Merasa seperti diangkat, maka anaknya yang sulung mulai memanggil
ibunya: “Ibu batu ini makin tinggi.” Namun sayangnya Inaq Lembain sedang sibuk
bekerja. Dijawabnya, “Anakku tunggulah sebentar, Ibu baru saja menumbuk.”
Begitulah yang terjadi secara berulang-ulang. Batu ceper itu makin lama
makin meninggi hingga melebihi pohon kelapa. Kedua anak itu kemudian berteriak
sejadi-jadinya. Namun, Inaq Lembain tetap sibuk menumbuk dan menampi beras.
Suara anak-anak itu makin lama makin sayup. Akhirnya suara itu sudah tidak
terdengar lagi.
Batu Goloq itu makin lama makin tinggi. Hingga membawa kedua anak itu
mencapai awan. Mereka menangis sejadi-jadinya. Baru saat itu Inaq Lembain
tersadar, bahwa kedua anaknya sudah tidak ada. Mereka dibawa naik oleh Batu
Goloq.
Inaq Lembain menangis tersedu-sedu. Ia kemudian berdoa agar dapat mengambil
anaknya. Syahdan doa itu terjawab. Ia diberi kekuatan gaib. dengan sabuknya ia
akan dapat memenggal Batu Goloq itu. Ajaib, dengan menebaskan sabuknya batu itu
terpenggal menjadi tiga bagian. Bagian pertama jatuh di suatu tempat yang
kemudian diberi nama Desa Gembong olrh karena menyebabkan tanah di sana
bergetar. Bagian ke dua jatuh di tempat yang diberi nama Dasan Batu oleh karena
ada orang yang menyaksikan jatuhnya penggalan batu ini. Dan potongan terakhir
jatuh di suatu tempat yang menimbulkan suara gemuruh. Sehingga tempat itu
diberi nama Montong Teker.
Sedangkan kedua anak itu tidak jatuh ke bumi. Mereka telah berubah menjadi
dua ekor burung. Anak sulung berubah menjadi burung Kekuwo dan adiknya berubah
menjadi burung Kelik. Oleh karena keduanya berasal dari manusia maka kedua
burung itu tidak mampu mengerami telurnya.
19. NUSA TENGGARA TIMUR (Suri Ikun dan Dua Burung)
Pada jaman
dahulu, di pulau Timor, Nusa Tenggara Timur, hiduplah seorang petani dengan
isteri dan empat belas anaknya. Tujuh orang anaknya laki-laki dan tujuh orang
perempuan.Walaupun mereka memiliki kebun yang besar, hasil kebun tersebut tidak
mencukupi kebutuhan keluarga tersebut. Sebabnya adalah tanaman yang ada sering
dirusak oleh seekor babi hutan.Petani tersebut menugaskan pada anak
laki-lakinya untuk bergiliran menjaga kebun mereka dari babi hutan.
Kecuali Suri Ikun, keenam saudara laki-lakinya adalah penakut dan dengki.
Begita mendengar dengusan babi hutan, maka mereka akan lari meninggalkan
kebunnya.Lain halnya dengan Suri Ikun, begitu mendengar babi itu datang, ia
lalu mengambil busur dan memanahnya. Setelah hewan itu mati, ia membawanya
kerumah. Disana sudah menunggu saudara-saudaranya. Saudaranya yang tertua
bertugas membagi- bagikan daging babi hutan tersebut. Karena dengkinya, ia
hanya memberi Suri Ikun kepala dari hewan itu. Sudah tentu tidak banyak daging
yang bisa diperoleh dari bagian kepala. Selanjutnya, ia meminta Suri Ikun
bersamannya mencari gerinda milik ayahnya yang tertinggal di tengah hutan.
Waktu itu hari sudah mulai malam. Hutan tersebut menurut cerita di malam
hari dihuni oleh para hantu jahat. Dengan perasaan takut iapun berjalan
mengikuti kakaknya. Ia tidak tahu bahwa kakaknya mengambil jalan lain yang
menuju kerumah. Tinggallah Suri Ikun yang makin lama makin masuk ke tengah
hutan. Berulang kali ia memanggil nama kakaknya. Panggilan itu dijawab oleh
hantu-hantu hutan. Mereka sengaja menyesatkan Suri Ikun. Setelah berada
ditengah- tengah hutan lalu, hantu-hantu tersebut menangkapnya. Ia tidak langsung
dimakan, karena menurut hantu-hantu itu ia masih terlalu kurus. Ia kemudian
dikurung ditengah gua. Ia diberi makan dengan teratur. Gua itu gelap sekali.
Namun untunglah ada celah disampingnya, sehingga Suri Ikun masih ada sinar yang
masuk ke dalam gua. Dari celah tersebut Suri Ikun melihat ada dua ekor anak
burung yang kelaparan. Iapun membagi makanannya dengan mereka. Setelah sekian
tahun, burung- burung itupun tumbuh menjadi burung yang sangat besar dan kuat.
Mereka ingin mem- bebaskan Suri Ikun. Pada suatu ketika, hantu-hantu itu
membuka pintu gua, dua burung tersebut menyerang dan mencederai hantu hantu
tersebut. Lalu mereka menerbangkan Suri Ikun ke daerah yang berbukit-bukit
tinggi.
Dengan
kekuatan gaibnya, Burung-burung tersebut menciptakan istana lengkap dengan
pengawal dan pelayan istana. Disanalah untuk selanjutnya Suri Ikun berbahagia.
20. KALIMANTAN BARAT (Semangka Emas)
Pada zaman
dahulu kala, di Sambas hiduplah seorang saudagar yang kaya raya. Saudagar
tersebut mempunyai dua orang anak laki-laki. Anaknya yang sulung bernama
Muzakir, dan yang bungsu bernama Dermawan. Muzakir sangat loba dan kikir.
Setiap hari kerjanya hanya mengumpulkan uang saja. Ia tidak perduli kepada
orang-orang miskin. Sebaliknya Dermawan sangat berbeda tingkah lakunya. Ia tidak
rakus dengan uang dan selalu bersedekah kepada fakir miskin.
Sebelum
meninggal, saudagar tersebut membagi hartanya sama rata kepada kedua anaknya.
Maksudnya agar anak-anaknya tidak berbantah dan saling iri, terutama bila ia
telah meninggal kelak.
Muzakir
langsung membeli peti besi. Uang bagiannya dimasukkan ke dalam peti tersebut,
lalu dikuncinya. Bila ada orang miskin datang, bukannnya ia memberi sedekah,
melainkan ia tertawa terbahak-bahak melihat orang miskin yang pincang, buta dan
lumpuh itu. Bila orang miskin itu tidak mau pergi dari rumahnya, Muzakir
memanggil orang gajiannya untuk mengusirnya. Orang-orang miskin kemudian
berduyun-duyun datang ke rumah Dermawan.
Dermawan
selalu menyambut orang-orang miskin dengan senang hati. Mereka dijamunya makan
dan diberi uang karena ia merasa iba melihat orang miskin dan melarat. Lama
kelamaan uang Dermawan habis dan ia tidak sanggup lagi membiayai rumahnya yang
besar. Ia pun pindah ke rumah yang lebih kecil dan harus bekerja. Gajinya tidak
seberapa, sekedar cukup makan saja. Tetapi ia sudah merasa senang dengan
hidupnya yang demikian. Muzakir tertawa terbahak-bahak mendengar berita
Dermawan yang dianggapnya bodoh itu. Muzakir telah membeli rumah yang lebih
bagus dan kebun kelapa yang luas. Tetapi Dermawan tidak menghiraukan tingkah
laku abangnya.
Suatu hari
Dermawan duduk-duduk melepaskan lelah di pekarangan rumahnya. Tiba-tiba
jatuhlah seekor burung pipit di hadapannya. Burung itu mencicit-cicit kesakitan
"Kasihan," kata Dermawan. "Sayapmu patah, ya?" lanjut Dermawan
seolah-olah ia berbicara dengan burung pipit itu. Ditangkapnya burung tersebut,
lalau diperiksanya sayapnya. Benar saja, sayap burung itu patah. "Biar
kucoba mengobatimu," katanya. Setelah diobatinya lalu sayap burung itu
dibalutnya perlahan-lahan. Kemudian diambilnya beras. Burung pipit itu
diberinya makan.
Burung itu
menjadi jinak dan tidak takut kepadanya. Beberapa hari kemudian, burung itu
telah dapat mengibas-ngibaskan sayapnya, dan sesaat kemudian ia pun terbang.
Keesokan harinya ia kembali mengunjungi Dermawan. Di paruhnya ada sebutir biji,
dan biji itu diletakkannya di depan Dermawan. Dermawan tertawa melihatnya. Biji
itu biji biasa saja. Meskipun demikian, senang juga hatinya menerima pemberian
burung itu. Biji itu ditanam di belakang rumahnya.
Tiga hari kemudian tumbuhlah biji itu. Yang tumbuh adalah pohon semangka. Tumbuhan itu dipeliharanya baik-baik
sehingga tumbuh dengan subur. Pada mulanya Dermawan menyangka akan banyak
buahnya. Tentulah ia akan kenyang makan buah semangka dan selebihnya akan ia
sedekahkan. Tetapi aneh, meskipun bunganya banyak, yang menjadi buah hanya
satu. Ukuran semangka ini luar biasa besarnya, jauh lebih dari semangka
umumnya. Sedap kelihatannya dan harum pula baunya. Setelah masak, Dermawan
memetik buah semangka itu. Amboi, bukan main beratnya. Ia terengah-engah
mengangkatnya dengan kedua belah tangannya. Setelah diletakkannya di atas meja,
lalu diambilnya pisau. Ia membelah semangka itu. Setelah semangka terbelah,
betapa kagetnya Dermawan. Isi semangka itu berupa pasir kuning yang bertumpuk
di atas meja. Ketika diperhatikannya sungguh-sungguh, nyatalah bahwa pasir itu
adalah emas urai murni. Dermawan pun menari-nari karena girangnya. Ia mendengar
burung mencicit di luar, terlihat burung pipit yang pernah ditolongnya hinggap
di sebuah tonggak. "Terima kasih! Terima kasih!" seru Dermawan.
Burung itu pun kemudian terbang tanpa kembali lagi.
Keesokan harinya Dermawan memberli rumah yang bagus dengan pekarangan yang
luas sekali. Semua orang miskin yang datang ke rumahnya diberinya makan. Tetapi
Dermawan tidak akan jatuh miskin seperti dahulu, karena uangnya amat banyak dan
hasil kebunnya melimpah ruah. Rupanya hal ini membuat Muzakir iri hati. Muzakir
yang ingin mengetahui rahasia adiknya lalu pergi ke rumah Dermawan. Di sana Dermawan menceritakan secara jujur kepadanya
tentang kisahnya.
Mengetahui
hal tersebut, MUzakir langsung memerintahkan orang-orang gajiannya mencari
burung yang patah kaki atau patah sayapnya di mana-mana. Namun sampai satu
minggu lamanya, seekor burung yang demikian pun tak ditemukan. Muzakir sungguh
marah dan tidak dapat tidur. Keesokan paginya, Muzakir mendapat akal. Diperintahkannya
seorang gajiannya untuk menangkap burung dengan apitan. Tentu saja sayap burung
itu menjadi patah. Muzakir kemudian berpura-pura kasihan melihatnya dan
membalut luka pada sayap burung. Setelah beberapa hari, burung itu pun sembuh
dan dilepaskan terbang. Burung itu pun kembali kepada Muzakir untuk memberikan
sebutir biji. Muzakir sungguh gembira.
Biji pemberian burung ditanam Muzakir di tempat yang terbaik di kebunnya.
Tumbuh pula pohon semangka yang subur dan berdaun rimbun. Buahnya pun hanya satu,
ukurannya lebih besar dari semangka Dermawan. Ketika dipanen, dua orang gajian
Muzakir dengan susah payah membawanya ke dalam rumah karena beratnya. Muzakir
mengambil parang. Ia sendiri yang akan membelah semangka itu. Baru saja
semangka itu terpotong, menyemburlah dari dalam buah itu lumpur hitam bercampur
kotoran ke muka Muzakir. Baunya busuk seperti bangkai. Pakaian Muzakir serta
permadani di ruangan itu tidak luput dari siraman lumpur dan kotoran yang
seperti bubur itu. Muzakir berlari ke jalan raya sambil menjerit-jerit. Orang
yang melihatnya dan mencium bau yang busuk itu tertawa terbahak-bahak sambil
bertepuk tangan dengan riuhnya.
21. KALIMANTAN TENGAH (Ambun dan Rimbun)
Konon, pada
zaman dahulu kala, di sebuah kampung di daerah Kalimantan Tengah, hiduplah
seorang janda bersama dua orang anak laki-lakinya yang sudah remaja. Anak
pertamanya bernama Ambun, sedangkan anak keduanya bernama Rimbun. Banyak orang
di kampung itu mengira mereka saudara kembar, karena wajah dan perawakan
keduanya mirip sekali. Namun sebenarnya mereka bukanlah saudara kembar, karena
umur keduanya selisih satu tahun.
Ambun dan
Rimbun adalah anak yang rajin dan hormat kepada orang tua. Setiap hari mereka
membantu ibunya mencari kayu bakar ke hutan dan menjualnya ke pasar.
Pada suatu
sore, Rimbun melihat abangnya termenung seorang diri di beranda rumah mereka.
“Bang! Apa yang sedang Abang pikirkan?” tanya Rimbun.
“Abang sedang memikirkan nasib keluarga kita. Kalau setiap hari hanya
mencari kayu bakar, kehidupan kita tidak akan pernah membaik,” keluh Ambun.
“Lalu, apa rencana Abang?” tanya Rimbun.
“Abang akan pergi merantau untuk mengubah nasib keluarga kita. Banyak orang
di kampung ini kehidupannya menjadi lebih baik sepulangnya dari merantau,”
jelas Ambun.
“Wah, kalau begitu, Adik akan ikut Abang,” kata Rimbun.
“Jangan, Dik! Kamu di sini saja menemani ibu. Kalau Adik ikut, kasihan ibu
ditinggal sendiri,” cegah Ambun.
“Tidak, Bang! Adik harus ikut Abang,” tegas Rimbun bersikukuh ingin pergi
merantau bersama Abangnya.
“Baiklah, kalau begitu,” kata Rimbun mengizinkan adiknya ikut serta.
Malam harinya, kedua kakak-beradik itu menyampaikan niat mereka kepada sang
Ibu. Mendengar hal itu, sang Ibu hanya terdiam. Ia bingung bagaimana menyikapi
keinginan kedua putranya. Menurutnya, apa yang dikatakan kedua putranya itu
memang benar, bahwa merantau dapat memperbaiki kehidupan keluarga mereka,
tetapi di satu sisi, umur mereka masih sangat muda.
“Bagaimana, Bu? Apakah ibu mengizinkan kami pergi?” Ambun kembali bertanya.
“Sebenarnya Ibu merasa berat mengizinkan kalian pergi. Ibu khawatir terhadap keselamatan
kalian berdua di rantau. Kalian masih terlalu muda untuk merantau,” jawab sang
Ibu dengan berat hati.
“Iya, Bu! Tapi, kami berdua bisa jaga diri dan saling menjaga,” sahut
Rimbun.
“Baiklah, kalau memang kalian bersikukuh akan pergi, Ibu mengizinkan. Tapi Ibu berpesan, kalian harus
menghormati orang lain dan jangan berpisah. Kalaupun harus berpisah, hendaknya
kalian saling mengabari,” ujar sang Ibu.
“Terima kasih, Bu!” ucap keduanya serentak dengan perasaan gembira.
Ambun dan Rimbun segera menyiapkan segala keperluan mereka, termasuk celana
dan baju mereka yang terbuat dari kulit kayu. Sementara sang Ibu sibuk
menyiapkan makanan untuk bekal mereka di jalan. Ia memasak empat belas buah
ketupat dan empat belas butir telur ayam untuk mereka berdua. Masing-masing
mendapat tujuh buah ketupat dan tujuh biji telur ayam. Setelah itu, ia
mengambil beberapa butir beras dan mencelupkannya ke dalam air, lalu
mengoleskannya di ubun-ubun mereka seraya berdoa:
“Semoga Ranying Hatalla Langit (semoga Tuhan melidungi kalian
berdua).”
Saat tengah malam, perempuan paruh baya itu membuka sebuah peti besi kecil
berisi dua bilah dohong (keris pusaka) yang bentuk dan ukurannya sama. Yang
satu berlilitkan kain merah dan yang satunya lagi berlilitkan kain kuning. Yang
berlilitkan kain merah diserahkan kepada Ambun, sedangkan yang berlilitkan kain
kuning diberikan kepada Rimbun.
“Senjata pusaka ini adalah peninggalan almarhum ayah kalian. Tapi, ingat!
Senjata ini hanya boleh kalian gunakan jika dalam keadaan mendesak,” pesan sang
Ibu seraya mencium kening kedua putra tercintanya.
“Baik, Bu! Kami akan selalu mengingat pesan Ibu,” kata Ambun dan Rimbun
serentak.
Keesokan harinya, Ambun dan Rimbun bersiap-siap untuk berangkat dan
berpamitan kepada sang Ibu tercinta. Suasana haru pun menyelimuti hati sang Ibu
dan kedua putranya itu. Air mata sang Ibu tidak dapat dibendung lagi. Demikian
pula kedua orang kakak-beradik itu. Mereka tidak kuat menahan rasa haru.
“Berangkatlah, Nak! Nanti kalian kemalaman di jalan. Jika sudah berhasil,
cepatlah kembali menemani Ibu di sini!” pesan sang Ibu.
“Baik, Bu! Kami akan segera kembali jika sudah berhasil,” jawab keduanya
serentak.
Usai mencium tangan sang Ibu, keduanya pun pergi meninggalkan kampung
halaman mereka. Sang Ibu berdiri di depan pintu sambil melambaikan tangan
mengiringi kepergian kedua putranya. Setelah keduanya menghilang di tikungan
jalan kampung, barulah ia masuk ke dalam rumah.
Ambun dan Rimbun berjalan mendaki gunung, menuruni lembah, dan menyeberangi
sungai. Mereka berjalan mengikuti arah matahari terbenam. Saat malam tiba,
mereka berhenti untuk beristirahat. Ketupat dan telur pemberian sang Ibu mereka makan
sedikit-sedikit. Ketika matahari mulai menampakkan wajahnya di ufuk timur,
mereka kembali melanjutkan perjalanan. Tidak terasa, sudah berhari-hari mereka
berjalan.
Ketika memasuki hari ketujuh, Rimbun mendadak jatuh sakit, karena kelelahan
berjalan jauh. Melihat kondisi adiknya itu, Ambun menjadi panik. Ia pun mencoba mengobati
adiknya dengan memberinya minuman dari berbagai macam air akar-akaran. Namun,
tidak satu pun yang mampu menyembuhkannya. Tidak terasa air matanya pun
bercucuran membasahi pipinya. Ia sangat menyesal dan merasa bersalah karena
telah mengizinkan adiknya ikut serta. Beberapa saat kemudian, Rimbun akhirnya
meninggal dunia.
“Rimbun… Adikku! Jangan tinggalkan Abang…!” teriak Ambun memecah kesunyian
di tengah hutan.
Namun apa hendak diperbuat, adik tercintanya benar-benar telah
menghembuskan nafas terakhirnya. Dengan diselimuti perasaan sedih, Ambun segera
menggali lubang untuk kuburan adiknya. Setelah menguburkan jazad adiknya, Ambun
mencabut dohong adiknya. Mata dohong itu ditancapkan di bagian kepala,
sedangkan warangkanya ditancapkan di bagian kaki kuburan itu. Sementara kain
berwarna kuning pembungkus dohong itu diikatkan pada nisannya.
Setelah itu, Ambun melanjutkan perjalanan dengan menyusuri hutan lebat.
Saat hari menjelang siang, perutnya terasa lapar. Ia pun membuka bungkusan
makanannya di bawah sebuah pohon besar dan tinggi. Setelah bungkusan itu
terbuka, barulah ia menyadari ternyata bekalnya sudah habis. Hatinya pun mulai
cemas. Ia lalu memanjat pohon besar dan tinggi tempatnya berteduh itu.
Sesampainya di atas, ia melihat kepulan asap tidak jauh dari tempatnya berada.
“Wah, pasti ada orang di sana,” pikirnya dengan perasaan gembira.
Tanpa berpikir panjang, ia segera turun dari atas pohon lalu berjalan
menuju ke arah kepulan asap. Setelah beberapa lama berjalan, terlihatlah sebuah
rumah di tengah hutan. Saat menghampiri rumah itu, ia melihat seorang nenek
sedang mengumpulkan kayu bakar di samping rumahnya. Agar nenek itu tidak
terkejut, ia pun mendehem.
“Hemm, sedang apa, Nek?” tanya Ambun.
“Mengumpulkan kayu bakar,” jawab nenek itu.
“Siapa engkau ini anak muda? Kenapa bisa sampai ke tempat ini?” nenek itu
balik bertanya.
“Saya Ambun, Nek,” jawab Ambun, lalu ia menceritakan semua peristiwa yang
dialaminya hingga sampai di tempat itu.
“Nenek berduka cita atas meninggalnya adikmu,” kata nenek itu dengan
perasaan haru.
Oleh karena merasa kasihan, perempuan tua itu mengizinkan Ambun untuk
tinggal bersamanya. Setiap hari Ambun membantunya untuk mencari kayu bakar. Si
Nenek pun sangat menyayangi Ambun seperti cucunya sendiri.
Pada suatu hari, sambil mengumpulkan kayu bakar, nenek itu bercerita kepada
Ambun bahwa sebenarnya ia adalah bagian dari keluarga Kerajaan Sang Sambaratih.
Ia diusir karena pernikahannya dengan almarhum suaminya yang berasal dari
rakyat biasa. Meskipun dikucilkan dari istana, nenek malang itu masih mendapat
perhatian dari sebagian keluarga istana. Hampir setiap minggu ada pengawal
istana yang mengantarkan makanan untuknya.
Suatu hari, datanglah dua orang utusan dari istana Sang Sambaratih membawa
makanan untuk si Nenek. Sebelum kembali ke istana, kedua utusan tersebut
memberitahukan kepadanya bahwa raja akan mengadakan sayembara memetik bunga
melati. Barangsiapa yang dapat melompat dari halaman rumah istana sampai ke
atap istana untuk mengambil bunga melati, dan menyerahkannya kepada putri raja,
maka dia akan dijadikan menantu raja. Akan tetapi jika gagal, maka dia akan mendapat
hukuman gantung.
Si Ambun yang mendengar kabar itu, hampir semalaman tidak dapat memejamkam
matanya. Ia ingin sekali mengikuti sayembara itu. Keesokan harinya, Ambun menemui si
Nenek.
“Nek, bolehkah Ambun mengikuti sayembara itu?” tanya Ambun.
“Oh jangan, Cucuku! Kamu akan dihukum gantung jika gagal memetik bunga
melati itu,” cegah si Nenek.
“Nenek tidak usah khawatir. Ambun pasti dapat mengatasinya,” kata si Ambun
seraya memperlihatkan senjata dohongnya.
“Benda apa ini, Cucuku?” tanya si Nenek penasaran.
“Senjata pusaka peninggalan ayahku, Nek. Senjata ini dapat menolong jika
diperlukan,” jelas Ambun.
Si Nenek pun yakin dan percaya dengan kata-kata Ambun, dan mengizinkannya
untuk mengikuti sayembara tersebut. Keesokan harinya, Ambun sudah bersiap-siap
berangkat menuju istana untuk mengikuti sayembara tersebut.
“Maaf, Nek! Ambun ada satu permintaan,” kata Ambun.
“Apakah itu, Cucuku?” tanya si Nenek penasaran.
“Bersediakah Nenek menyaksikan sayembara itu. Jika seandainya Ambun gagal,
Nenek dapat menyaksikan Ambun menjalani hukuman gantung, dan saat itu adalah
pertemuan terkahir kita,” bujuk Ambun.
Oleh karena sayang kepada Ambun, nenek itu pun memenuhi keinginan Ambun.
Maka berangkatlah mereka berdua menuju istana. Selama dalam perjalanan, si
Nenek senantiasa diselimuti perasaan cemas. Sementara si Ambun meminta kepada
si Nenek untuk mendoakannya agar dapat meraih kemenangan.
Setibanya di halaman istana, penonton sudah penuh sesak dan para peserta
sudah bersiap-siap mengikuti sayembara. Peserta sayembara tersebut terdiri dari
delapan orang, yaitu tujuh pangeran dari kerajaan bawahan Kerajaan Sang
Sambaratih, dan si Ambun sendiri. Satu per satu pangeran tersebut mengeluarkan
kesaktiannya, namun tak seorang pun yang berhasil melompat ke atap istana dan
memetik bunga melati. Kini giliran Ambun yang akan memperlihatkan kesaktiannya.
Ketika Ambun memasuki arena, para penonton bertepuk tangan disertai dengan
suara ejekan. Mereka meragukan kemampuan Ambun. Jangankan Ambun yang hanya
orang kampung, para pangeran saja tidak satu pun yang berhasil melalui ujian
itu. Namun dengan penuh percaya diri, Ambun tetap tenang dan berkonsentrasi
penuh. Saat mengambil ancang-ancang, dengan suara nyaring Ambun berteriak
memanggil ayahnya sambil mencabut dohong pusaka yang terselip dipinggangnya.
Dengan secepat kilat, Ambun melejit ke atas atap memetik bunga melati itu
dan menyerahkannya kepada tuan putri yang duduk di samping raja. Seketika itu
pula suara tepuk tangan dan teriakan penonton bergemuruh bagaikan membelah
bumi. Suara teriakan penonton bukan lagi suara ejekan, melainkan suara
kekaguman melihat kesaktian Ambun. Raja yang menyaksikan peristiwa itu langsung
berdiri sambil bertepuk tangan dengan penuh kekaguman.
Sementara ketujuh pangeran tersebut merasa tidak puas. Mereka pun menyatakan perang
kepada raja Sang Sambaratih. Namun atas bantuan Ambun dengan senjata dohongnya,
ketujuh pangeran tersebut dapat dikalahkan. Akhirnya, Ambun dinikahkan dengan
putri raja. Pesta pernikahannya dilangsungkan dengan meriah selama tujuh hari
tujuh malam.
Seminggu setelah pernikahan mereka, raja Sang Sambaratih menyerahkan
kekuasaannya kepada Ambun, karena sudah tua. Sejak dinobatkan menjadi raja,
Ambun berusaha mencari ibunya. Pada suatu hari, Ambun bersama beberapa orang
pengawalnya menyusuri jalan yang pernah dilaluinya ketika ia berangkat
merantau. Setelah tujuh hari tujuh malam berjalan, ia pun menemukan ibunya.
Alangkah bahagianya sang Ibu saat melihat anaknya kembali dan berhasil menjadi
raja. Namun, di satu sisi, sang Ibu tetap bersedih karena kehilangan Rimbun
anak bungsunya.
Oleh karena tidak ingin melihat ibunya bersedih, Ambun bersama ibu dan para
pengawalnya pergi mencari kuburan Rimbun. Setelah menemukan kuburan Rimbun,
Ambun segera memerintahkan sebagian pengawalnya untuk menggali kuburan itu, dan
memerintahkan sebagian yang lain untuk mencari Danum Kaharingan Belom (air
kehidupan) di Bukit Kamiting.
Menjelang sore, pengawal yang diutus ke Bukit Kamiting telah kembali dengan
membawa Danun Kaharingan Belom. Ambun segera meneteskan air kehidupan itu ke
tulang-tulang adiknya yang sudah terpisah-pisah. Tidak lama kemudian,
tulang-tulang itu menyusun diri. Daging dan kulitnya pun kembali seperti semula.
Akhirnya Rimbun hidup lagi. Keluarga Ambun kini telah berkumpul kembali.
Setelah itu, Ambun mengajak keluarganya hidup bersama di istana Kerajaan
Sang Sambaratih dengan penuh kebahagiaan.
Demikian cerita Ambun dan Rimbun dari Kalimantan Tengah. Cerita di atas
termasuk ke dalam kategori dongeng yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat
dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya ada dua pesan moral
yang dapat dipetik dari cerita di atas yaitu, keutamaan memelihara keutuhan
keluarga dan keutamaan memiliki kemauan kuat untuk mengubah nasib.
Pertama, keutamaan memelihara keutuhan keluarga. Sifat ini tercermin dalam
kehidupan keluarga Ambun. Mereka senantiasa saling menyayangi, menghormati dan
saling menjaga. Hal ini ditunjukkan oleh sikap dan perilaku Ambun. Setelah
berhasil di perantauan, Ambun segera mencari ibunya yang tinggal di kampung dan
menghidupkan kembali adiknya yang sudah meninggal dunia
Kedua, keutamaan memiliki kemauan kuat untuk mengubah nasib. Sifat ini
ditunjukkan oleh sikap dan perilaku Ambun dan Rimbun untuk selalu bekerja keras
dan tabah menghadapi berbagai macam kesulitan. Hal ini dapat dilihat ketika
adiknya meninggal dunia di tengah perjalanan, Ambun tetap bersemangat dan
meneruskan perjalanannya pergi merantau. Akhirnya, dengan tekad kuat, kerja
keras dan ketabahannya, Ambun berhasil mengubah nasib keluarganya.
Pelajaran lain yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa dalam
kehidupan keluarga sebaiknya saling mendoakan antara anggota keluarga yang satu
dengan anggota keluarga lainnya. Hal ini ditunjukkan sikap Ibu Ambun dan si
Nenek yang senantiasa mendoakan si Ambun agar terhindar dari malapetaka dan
berhasil mencapai keinginannya.
22. KALIMANTAN SELATAN (Asal Pulau Kambang dan Kera Penghuninya)
Pulau Kambang
adalah objek wisata yang jarang terlewatkan apabila orang mengunjungi pasar
terapung. Selain tempatnya yang berada disekeliling sungai dan berbentuk pulau
kecil juga mudah didatangi. Sebenarnya pulau ini termasuk wilayah Kabupaten
Barito Kuala, namun lebih dekat dengan Banjarmasin. Pada gilirannya objek
wisata Pulau Kambang ini ditawarkan dalam satu paket dengan Pasar Terapung yang
merupakan andalan kepariwisataan kota Banjarmasin.
Di Pulau
Kambang ini terdapat ribuan warik (kera) yang selalu datang mendekat ke arah
pengunjung, terlebih lagi jika mereka sedang lapar. Tidak jarang warik-warik
itu merebut benda yang ada dipangkuan pengunjung. Ketertarikan orang pada Pulau
Kambang ini ternyata berbeda-beda tujuannya. Ada yang memanfaatkan karena
letaknya dekat pasar terapung dan sekaligus ingin melihat warik yang ada
disana. Selain itu ada pula pengunjung yang punya niat atau nadzar tertentu,
sehingga mereka harus datang ke pulau kambang. Mengapa yang datang tidak cuma
bertujuan berwisata dan ada apa dibalik itu ?
Terjadinya Pulang Kambang
Dahulu di antero nusantara terdapat kerajaan-kerajaan, baik yang berskala
besar maupun kecil. Di Banjarmasin tepatnya Muara Kuin berdiri sebuah Kerajaan.
Dalam penuturan yang diterima masyarakat secara turun temurun diceriterakan
pada kerajaan tersebut ada seorang patih yang sangat sakti, berani dan gagah
perkasa bernama Datu Pujung.
Datu Pujung ini menjadi andalan dan merupakan benteng pertahanan terhadap
orang-orang yang ingin mengusai atau berbuat jahat pada Kerajaan Kuin. Suatu
ketika seperti yang dituturkan dalam cerita para orang tua dahulu datang sebuah
kapal Inggeris dengan membawa penumpang atau awak kapal yang kebanyakan orang
Cina. Mereka diketahui ingin tinggal dan menguasai kerajaan Kuin. Untuk
melaksanakan niat mereka itu tentu saja harus berhadapan dengan Datu Pujung.
Ketentuan dan persyaratan dari Datu Pujung kalau ingin mengusai kerajaan Kuin
harus dapat melewati ujian yang ditetapkan, yaitu bisa membelah kayu besar
tanpa alat atau senjata. Ternyata persyaratan dari Datu Pujung ini tidak dapat
dipenuhi oleh mereka yang ingin menguasai kerajaan tesebut. Sebaliknya Datu
Pujung memperlihatkan kesaktiannya dan dengan mudah membelah kayu besar itu
tanpa alat. Datu Pujung membuktikan kepada orang-orang yang datang berkapal itu
bahwa persyaratan yang diajukannya bukanlah omong kosong atau sesuatu yang
mustahil.
Disebabkan para pendatang yang ada di dalam kapal Inggeris itu tidak dapat
memenuhi persyaratan yang ditetapkan, maka oleh Datu Pujung diminta untuk
membatalkan niat menguasai kerajaan Kuin dan agar kembali ke negeri asalnya
Namun mereka bersikeras ingin tinggal menetap dan menguasai kerajaan Kuin
sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Karena mereka tetap memaksakan
kehendaknya, akhirnya Datu Pujung dengan kesaktiannya menenggelamkan kapal
beserta seluruh penumpang yang ada didalamnya.
Setelah sekian lama, bangkai kapal yang ada dipermukaan air itu menghalangi
setiap batang kayu yang hanyut. Dari hari ke hari semakin bertumpuk kayu-kayu
yang tersangkut dan kemudian tumbuh pepohonan yang menjadi sebuah pulau di
tengah sungai. Pada pulau yang ditumbuhi pepohonan ini telah pula dihinggapi
oleh burung-burung dan bersarang disana.
Cerita tentang tenggelamnya kapal dengan para penumpangnya yang kebanyakan
etnis Cina tersebut menyebar dari mulut ke mulut dan waktu ke waktu. Sehingga
mereka yang berasal dari keturunan Cinapun banyak yang mengunjungi pulau
tersebut untuk mengenang dan memberikan penghormatan terhadap jasad yang
berkubur di situ. Jadilah pulau ini sebagai tempat penyampaian doa nadzar,
terutama bagi mereka yang merasa memiliki ikatan batin atas keberadaan pulau
itu. Dahulu setiap orang yang berkunjung ke sana membawa sejumlah untaian
kambang (bunga), dan karena berlangsung sepanjang waktu terjadilah tumpukan
kambang yang sangat banyak. Mereka yang melintasi pulau itu selalu melihat dan
menyaksikan tumpukan kambang yang begitu banyak. Oleh karena selalu menarik
perhatian bagi mereka yang melintasi tempat ini dan menjadi penanda, maka untuk
menyebutnya diberi nama Pulau Kambang.
Lama kelamaan nama pulau kambang semakin dikenal dan ramai dikunjungi orang
dengan niat dan tujuan yang berbeda-beda. Misalnya ada yang mengkeramatkannya
atau sekadar ingin tahu keberadaan pulau kambang yang telah melegenda itu.
Sekarang pun masih ditemui adanya kunjungan dari mereka yang punya hajat
tertentu dan berbaur dengan para pengunjung atau para wisatawan lainnya setelah
mengunjungi pasar terapung.
Keberadaan Warik Pulau Kambang
Bagaimana pula dengan Warik yang banyak di pulau kambang itu? Ternyata
memang memiliki cerita tersendiri dan menjadikan pulau ini memiliki daya tarik
untuk dikunjungi. Dalam ceriteranya disebutkan salah satu keturunan raja di
daerah Kuin tidak dikaruniai anak. Menurut ramalan ahli nujum kalau ingin punya
anak harus berkunjung ke Pulau Kambang dengan mengadakan upacara badudus
(mandi-mandi). Ramalan dan nasihat ahli nujum ini dipenuhi oleh kerabat kerajaan. Beberapa
waktu setelah mengadakan upacara di Pulau Kambang itu, ternyata isteri dari
keturunan raja dimaksud hamil. Begitu gembira dan bahagianya keluarga raja
dengan kehadiran anak yang dinanti-nantikan, maka raja yang berkuasa
memerintahkan petugas kerajaan untuk menjaga pulau tersebut agar tidak ada yang
merusak atau mengganggunya.
Petugas kerajaan yang mendapat perintah menjaga pulau ini membawa dua ekor
warik besar, jantan dan betina yang diberi nama si Anggur. Konon menurut
ceritanya setelah sekian lama petugas kerajaan ini menghilang secara gaib, tak
diketahui kemana perginya. Sedangkan warik yang ditinggalkannya beranak pinak
dan menjadi penghuni pulau kambang. Para orang tua dahulu ketika mengunjungi
pulang kambang masih bisa melihat si Anggur yang memang berbeda dari warik
biasa.
Keberadaan warik-warik ini telah menjadikan pulau kambang semakin menarik
untuk dikunjungi. Berdasarkan
hasil pengamatan yang pernah dilakukan oleh mereka yang perhatian terhadap
keberadaan warik di pulau kambang ini diketahui ada dua kumpulan kera yang
keluar dari persembunyiannya secara bergantian. Rombongan warik pertama yang
keluar sekitar pukul 05.00 s.d. l3.00 dan setelah itu disambung oleh kumpulan
warik sip kedua yang berada di tengah pengunjung pulau kambang. Kalau rombongan
sip pertama tidak menaati ketentuan dengan pengertian melewati batas waktu
operasional, maka ia akan diburu oleh rombongan warik lainnya. Tepatnya waktu
itu mungkin hanya sesama warik yang tahu.
Begitulah
asal muasal pulau Kambang beserta warik penghuninya. Tentang kebenarannya terpulang
kepada Yang Maha Esa. Bahwa Pulau Kambang dan warik itu memang nyata
dikelilingi sungai sekitarnya, tak perlu mempersoalkan keberadaannya. Tapi jangan lupa mengunjungi sebagai tempat wisata.
23. KALIMANTAN TIMUR (Asal Muasal Danau Lipan)
Danau Lipan adalah sebuah tempat di Kalimantan Timur. Tepatnya di Kecamatan
Muara Kaman, yang letaknya di hulu Tenggarong, Kabupaten Kutai Kertanegara.
Sebutan “danau” di depan nama Lipan bukanlah mengandung arti danau yang
sebenarnya. Karena tempat itu merupakan daerah yang ditumbuhi pang semak yang
luas.
Konon, di suatu waktu, Muara Kaman merupakan lautan. Di sana berdirilah
sebuah kerajaan dengan Bandar di tepi laut yang ramai. Tersebutlah seorang
puteri cantik bernama Puteri Aji Berdarah Putih. Kata yang empunya cerita,
disebut demikian karena jika sang Puteri memakan sirih, maka air sepah berwarna
merah yang ditelannya akan terlihat saat mengalir. Kecantikan itu tersebar ke
seantero negeri dan kerajaan di luarnya.
Alkisah, ketenaran sang Puteri sampai juga ke telinga seorang Raja Cina
dari negeri seberang. Maka sang Raja Cina segera membaw abala tentara
mengarungi lautan dengan sebuah jung besar untuk melamar Puteri Aji Berdarah
Putih.
Kehadiran sang Raja Cina disambut dengan meriah. Puteri nan jelita menyambut
sang tamu dengan pesta makan yang meriah. Tarian-tarian dan nyanyian disajikan
juga untuk menambah meriahnya pesta. Alangkah gembiranya sang Raja menerima
sambutan yang demikian meriah itu. Sang Puteri jelita memang tahu bahwa
kehadiran Raja Cina itu tak lain adalah untuk mempersuntingnya. Akan tetapi
begitu melihat gerak-gerik dan cara melahap makanan, Sang Puteri sontak menjadi
jijik tak terkira. Alangkah tidak lazimnya cara makan Raja Cina itu yang tidak
bedanya dengan cara anjing menyantap makanan.
Bukan saja saja sang Puteri merasakan jijik, bahkan ketika lamaran
diajukan, sang Puteri juga merasa terhina. Tentu saja tidak sepantasnya raja
terhormat punya tabiat seperti b inatang. Lamaran itu bagaikan tamparan bagi
sang Puteri.
Namun, penolakan disertai murka itu juga ditanggapi amarah pula oleh Raja
Cina. Ia sakit hati. Darah mengalir ke ubun-ubun saat menghadapi rasa malu yang
luar biasa itu. Tangannya menggenggam seolah ingin dihantamkan pada apa saja
yang ada di hadapannya.
Sepulang dari sana, ia memerintahkan panglima perangnya untuk menyerang
kerajaan Puteri Aji Berdarah Putih. Pertempuran pun tak dapat dielakkan.
Beribu-ribu prajurit Raja Cina merangsek bagaikan gelombang laut yang ganas.
Menghadapi serangan itu, prajurit sang Puteri jelita tak mau kalah.
Gempuran dahsyat itu ditandinginya dengan kegagahberanian yang luar biasa.
Makin lama sang Puteri cemas melihat gelombang serangan prajurit Raja Cina yang
tak bisa ditandingi tentara perangnya yang jumlahnya jauh lebih sedikit. Puteri takut tak lama lagi
tentaranya akan tumpas.
Maka, sebagai titisan raja sakti ia pun mulai bangkit di saat tindasan
makin berat. Ia mengambil kinang dari wadahnya. Kemudian ia mengunyah sirih
sambil mengucapkan mantera-mantera sakti. Mulutnya berkomat-kamit dan matanya
yang indah terpejam. Tak lama kemudian sang Puteri menyemburkan sepah-sepah
sirih ke segala penjuru arah.
Ajaib! Sepah-sepah itu tiba-tiba menjelma jutaan lipan ganas yang menyerang
barisan besar prajurit Raja Cina. Lipan-lipan itu kini menjadi barisan tentara
yang mengambil alih barisan para tentara Puteri Aji yang mulai terdesak. Dalam
waktu sekejap tentanra Raja Cina lumpuh oleh keganasan lipan-lipan itu.
Sebagian yang tersisa lari tunggang langgang meninggalkan daerah itu. Namun
serang lipan-lipan itu memburu hingga sampai ke laut, tempat prajurit
menyelamatkan diri di jungnya. Perahu mereka pun tenggelam. Seluruh laskar Raja Cina tumpas.
Tempat yang menenggelamkan jung Raja Cina itu menjadi padang luas yang
menyatu dengan laut. Syahdan, tempat itu hingga kini disebut Danau Lipan
24. SULAWESI UTARA (Kekeow dan Gadis Miskin)
Danau Lipan
adalah sebuah tempat di Kalimantan Timur. Tepatnya di Kecamatan Muara Kaman,
yang letaknya di hulu Tenggarong, Kabupaten Kutai Kertanegara. Sebutan “danau”
di depan nama Lipan bukanlah mengandung arti danau yang sebenarnya. Karena
tempat itu merupakan daerah yang ditumbuhi pang semak yang luas.
Konon, di suatu waktu, Muara Kaman merupakan lautan. Di sana berdirilah
sebuah kerajaan dengan Bandar di tepi laut yang ramai. Tersebutlah seorang
puteri cantik bernama Puteri Aji Berdarah Putih. Kata yang empunya cerita,
disebut demikian karena jika sang Puteri memakan sirih, maka air sepah berwarna
merah yang ditelannya akan terlihat saat mengalir. Kecantikan itu tersebar ke
seantero negeri dan kerajaan di luarnya.
Alkisah, ketenaran sang Puteri sampai juga ke telinga seorang Raja Cina
dari negeri seberang. Maka sang Raja Cina segera membaw abala tentara
mengarungi lautan dengan sebuah jung besar untuk melamar Puteri Aji Berdarah
Putih.
Kehadiran sang Raja Cina disambut dengan meriah. Puteri nan jelita
menyambut sang tamu dengan pesta makan yang meriah. Tarian-tarian dan nyanyian
disajikan juga untuk menambah meriahnya pesta. Alangkah gembiranya sang Raja
menerima sambutan yang demikian meriah itu. Sang Puteri jelita memang tahu
bahwa kehadiran Raja Cina itu tak lain adalah untuk mempersuntingnya. Akan
tetapi begitu melihat gerak-gerik dan cara melahap makanan, Sang Puteri sontak
menjadi jijik tak terkira. Alangkah tidak lazimnya cara makan Raja Cina itu
yang tidak bedanya dengan cara anjing menyantap makanan.
Bukan saja saja sang Puteri merasakan jijik, bahkan ketika lamaran
diajukan, sang Puteri juga merasa terhina. Tentu saja tidak sepantasnya raja
terhormat punya tabiat seperti b inatang. Lamaran itu bagaikan tamparan bagi
sang Puteri.
Namun, penolakan disertai murka itu juga ditanggapi amarah pula oleh Raja
Cina. Ia sakit hati. Darah mengalir ke ubun-ubun saat menghadapi rasa malu yang
luar biasa itu. Tangannya menggenggam seolah ingin dihantamkan pada apa saja
yang ada di hadapannya.
Sepulang dari sana, ia memerintahkan panglima perangnya untuk menyerang
kerajaan Puteri Aji Berdarah Putih. Pertempuran pun tak dapat dielakkan.
Beribu-ribu prajurit Raja Cina merangsek bagaikan gelombang laut yang ganas.
Menghadapi serangan itu, prajurit sang Puteri jelita tak mau kalah.
Gempuran dahsyat itu ditandinginya dengan kegagahberanian yang luar biasa.
Makin lama sang Puteri cemas melihat gelombang serangan prajurit Raja Cina yang
tak bisa ditandingi tentara perangnya yang jumlahnya jauh lebih sedikit. Puteri
takut tak lama lagi tentaranya akan tumpas.
Maka, sebagai titisan raja sakti ia pun mulai bangkit di saat tindasan
makin berat. Ia mengambil kinang dari wadahnya. Kemudian ia mengunyah sirih
sambil mengucapkan mantera-mantera sakti. Mulutnya berkomat-kamit dan matanya
yang indah terpejam. Tak lama kemudian sang Puteri menyemburkan sepah-sepah
sirih ke segala penjuru arah.
Ajaib!
Sepah-sepah itu tiba-tiba menjelma jutaan lipan ganas yang menyerang barisan
besar prajurit Raja Cina. Lipan-lipan itu kini menjadi barisan tentara yang
mengambil alih barisan para tentara Puteri Aji yang mulai terdesak. Dalam waktu
sekejap tentanra Raja Cina lumpuh oleh keganasan lipan-lipan itu. Sebagian yang
tersisa lari tunggang langgang meninggalkan daerah itu. Namun serang
lipan-lipan itu memburu hingga sampai ke laut, tempat prajurit menyelamatkan
diri di jungnya. Perahu mereka pun tenggelam. Seluruh laskar Raja Cina tumpas.
Tempat yang
menenggelamkan jung Raja Cina itu menjadi padang luas yang menyatu dengan laut.
Syahdan, tempat itu hingga kini disebut Danau Lipan
25. SULAWESI BARAT (Asal Mula Tari Patuddu)
Alkisah,
pada zaman dahulu, di daerah Mandar Sulawesi Barat, hiduplah seorang Anak Raja
di sebuah pegunungan. Di sana ia tinggal di sebuah istana megah yang
dikelilingi oleh taman bunga dan buah yang sangat indah. Di dalam taman itu
terdapat sebuah kolam permandian yang bersih dan sangat jernih airnya.
Pada suatu hari, saat gerimis tampak pelangi di atas rumah Anak Raja.
Kemudian tercium aroma harum semerbak. Si Anak Raja mencari-cari asal bau itu.
Ia memasuki setiap ruangan di dalam rumahnya. Namun, asal aroma harum semerbak
itu tidak ditemukannya. Oleh karena penasaran dengan aroma itu, ia terus
mencari asalnya sampai ke halaman rumah. Sesampai di taman, aroma yan dicari
itu tak juga ia temukan. Justru, ia sangat terkejut dan kesal, karena buah dan
bunga-bunganya banyak yang hilang. “Siapa pun pencurinya, aku akan menangkap
dan menghukumnya!” setengah berseru Anak Raja itu berkata dengan geram. Ia
kemudian berniat untuk mencari tahu siapa sebenarnya yang telah berani mencuri
bunga-bunga dan buahnya tersebut.
Suatu sore, si Anak Raja sengaja bersembunyi untuk mengintai pencuri bunga
dan buah di tamannya. Tak lama, muncullah pelangi warna-warni yang disusul
tujuh ekor merpati terbang berputar-putar dengan indahnya. Anak Raja terus
mengamati tujuh ekor merpati itu. Tanpa diduganya, tiba-tiba tujuh ekor merpati
itu menjelma menjadi tujuh bidadari cantik. Rupanya mereka hendak mandi-mandi
di kolam Anak Raja. Sebelum masuk ke dalam kolam, mereka bermain-main sambil
memetik bunga dan buah sesuka hatinya.
Anak Raja terpesona melihat kencantikan ketujuh bidadari itu. ”Ya Tuhan!
Mimpikah aku ini? Cantik sekali gadis-gadis itu,” gumam Anak Raja dengan kagum.
Kemudian timbul keinginannya untuk memperistri salah seorang bidadari itu.
Namun, ia masih bingung bagaimana cara mendapatkannya. ”Mmm...aku tahu caranya.
Aku akan mengambil salah satu selendang mereka yang tergeletak di pinggir kolam
itu,” pikir Anak Raja sambil mengangguk-angguk.
Sambil menunggu waktu yang tepat, ia terus mengamati ketujuh bidadari itu.
Mereka sedang asyik bermain sambil memetik bunga dan buah sesuka hatinya.
Mereka terlihat bersendau-gurau dengan riang. Saat itulah, si Anak Raja
memanfaatkan kesempatan. Dengan hati-hati, ia berjalan mengendap-endap dan
mengambil selendang miliki salah seorang dari ketujuh bidadari itu, lalu
disembunyikannya. Setelah itu, ia kembali mengamati para bidadari yang masih mandi di kolam.
Setelah puas mandi dan bermain-main, ketujuh bidadari itu mengenakan
selendangnya kembali. Mereka harus kembali ke Kahyangan sebelum pelangi
menghilang. Pelangi adalah satu-satunya jalan kembali ke Kahyangan. Namun
Bidadari Bungsu tidak menemukan selendangnya. Ia pun tampak kebingungan mencari
selendangnya. Keenam bidadari lainnya turut membantu mencari selendang adiknya.
Sayangnya, selendang itu tetap tidak ditemukan. Padahal pelangi akan segera
menghilang.
Akhirnya keenam bidadari itu meninggalkan si Bungsu seorang diri. Bidadari
Bungsu pun menangis sedih. “Ya Dewa Agung, siapa pun yang menolongku, bila
laki-laki akan kujadikan suamiku dan bila perempuan akan kujadikan saudara!”
seru Bidadari Bungsu. Tak lama berseru demikian, terdengar suara halilintar
menggelegar. Pertanda sumpah itu didengar oleh para Dewa.
Melihat Bidadari Bungsu tinggal sendirian, Anak Raja pun keluar dari
persembunyiannya, lalu menghampirinya.
”Hai, gadis cantik! Kamu siapa? Mengapa kamu menangis?” tanya Anak Raja
pura-pura tidak tahu.
”Aku Kencana, Tuan! Aku tidak bisa pulang ke Kahyangan, karena selendangku
hilang,” jawab Bidadari Bungsu.
”Kalau begitu, tinggallah bersamaku. Aku belum berkeluarga,” kata Anak Raja
seraya bertanya, ”Maukah kamu menjadi istriku?”
Sebenarnya Kencana sangat ingin kembali ke Kahyangan, namun selendangnya
tidak ia temukan, dan pelangi pun telah hilang. Sesuai dengan janjinya, ia pun
bersedia menikah dengan Anak Raja yang telah menolongnya itu. Akhirnya, Kencana
tinggal dan hidup bahagia bersama dengan Anak Raja.
Beberapa tahun kemudian. Kencana dan Anak Raja dikaruniai seorang anak
laki-laki. Maka semakin lengkaplah kebahagiaan mereka. Mereka mengasuh anak itu
dengan penuh perhatian dan kasih-sayang. Selain mengasuh dan mendidik anak,
Kencana juga sangat rajin membersihkan rumah.
Pada suatu hari, Kencana membersihkan kamar di rumah suaminya. Tanpa
sengaja ia menemukan selendang miliknya yang dulu hilang. Ia sangat terkejut,
karena ia tidak pernah menduga jika yang mencuri selendangnya itu adalah
suaminya sendiri. Ia merasa kecewa dengan perbuatan suaminya itu. Karena sudah
menemukan selendangnya, Kencana pun berniat untuk pulang ke Kahyangan.
Saat suaminya pulang, Kencana menyerahkan anaknya dan berkata, ”Suamiku,
aku sudah menemukan selendangku. Aku harus kembali ke Kahyangan menemui
keluargaku. Bila kalian merindukanku, pergilah melihat pelangi!”
Saat ada pelangi, Kencana pun terbang ke angkasa dengan mengipas-ngipaskan
selendangnya menyusuri pelangi itu. Maka tinggallah Anak Raja bersama anaknya
di bumi. Setiap ada pelangi muncul, mereka pun memandang pelangi itu untuk
melepaskan kerinduan mereka kepada Kencana. Kemudian oleh mayarakat setempat,
pendukung cerita ini, gerakan Kencana mengipas-ngipaskan selendangnya itu
diabadikan ke dalam gerakan-gerakan Tari Patuddu, salah satu tarian dari daerah
Mandar, Sulawesi Barat.
26. SULAWESI TENGAH (Asal-Usul Pohon
Sagu dan Palem)
Alkisah, di daerah Donggala, Sulawesi Tengah, hidup sepasang suami-istri
bersama seorang anak lelakinya. Mereka tinggal di sebuah rumah tua yang
terletak di pinggir hutan Dolo. Hidup mereka sangat miskin. Untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari, mereka mencari buah-buahan dan hasil hutan lainnya yang
tersedia di sekitar mereka.
Semakin lama sang Suami pun merasa bosan hidup dengan keadaan seperti itu.
Akhirnya, timbullah niatnya ingin membuka lahan perkebunan yang akan ditanami
dengan berbagai jenis tanaman palawija dan sayur-sayuran. Suatu hari, ia pun
menyampaikan niat baiknya tersebut kepada istrinya.
“Dik! Bagaimana kalau kita berkebun saja? Aku sudah bosan hidup seperti ini
terus,” ungkap sang Suami.
Alangkah senang hati sang Istri mendengar rencana suaminya. Ia merasa bahwa
suaminya akan berubah untuk tidak bermalas-malasan bekerja.
“Bang, kita mau berkebun di mana? Bukankah kita tidak mempunyai lahan untuk
berkebun?” tanya sang Istri.
“Tenang, Dik! Besok Abang akan membuka hutan untuk dijadikan lahan
perkebunan,” jawab sang Suami.
“Baiklah kalau begitu, aku setuju,” kata sang Istri.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali sang Suami berangkat ke hutan Dolo.
Setelah beberapa lama menyusuri hutan, ia pun menemukan tempat yang cocok untuk
dijadikan lahan perkebunan. Sementara itu, sang Istri bersama anaknya menunggu
di rumah sambil menyiangi rerumputan yang tumbuh di pekarangan rumah agar ular
tidak mengganggu mereka.
Menjelang sore hari, sang Suami pulang dari hutan sambil membawa
buah-buahan untuk persiapan makan malam mereka. Istrinya pun menyambutnya
dengan penuh harapan. Usai menyuguhkan minuman, sang Istri bertanya kepada
suaminya.
“Bang, bagaimana hasilnya? Apakah Abang sudah menemukan tempat yang cocok
untuk dijadikan lahan perkebunan?”
“Iya, Dik! Abang sudah menemukan sebidang tanah yang subur,” jawab sang
Suami.
Mendengar jawaban suaminya, sang Istri merasa gembira. Ia berharap dengan
adanya pekerjaan baru tersebut kehidupan keluarga mereka akan menjadi lebih
baik suatu hari kelak.
“O iya, Bang! Kalau Adik boleh tahu, di mana letak lahan itu?” sang Istri
kembali bertanya.
“Letaknya tidak jauh dari rumah kita,” jawab sang Suami.
“Syukurlah kalau begitu, Bang! Kita tidak perlu berjalan jauh untuk mencapainya.
Lalu, kapan Abang akan memulai membuka lahan?” tanya sang Istri.
“Kalau tidak ada aral melintang, besok Abang akan memulainya,” jawab sang
Suami dengan penuh keyakinan.
Beberapa saat kemudian, hari sudah mulai gelap. Sang Istri pun menyiapkan
makan malam seadanya. Usai makan malam, keluarga miskin tersebut beristirahat
setelah hampir seharian bekerja. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali sang Suami
berangkat ke hutan sambil membawa parang dan cangkul. Sesampainya di tempat
yang akan dijadikan lahan perkebunan, tiba-tiba muncul sifat malasnya. Ia
bukannya membabat hutan, melainkan duduk termenung sambil memerhatikan
pepohanan yang tumbuh besar dan hijau di hadapannya. Sementara itu, istri dan
anaknya sedang menunggu di rumah dengan penuh harapan. Sang Istri mengharapkan
agar suaminya segera membuka lahan perkebunan.
“Anakku! Jika Ayahmu telah selesai membuka lahan perkebunan, kita bisa
membantunya menanam sayur-sayuran dan umbi-umbian di kebun,” ujar sang Ibu
kepada anaknya.
“Bolehkah aku ikut membantu, Ibu?” tanya anaknya.
“Tentu, Anakku! Ayahmu pasti sangat senang jika kamu juga ikut
membantunya,” jawab sang Ibu sambil tersenyum.
Menjelang sore hari, sang Suami pulang dari hutan. Ia pun disambut oleh
istrinya dengan suguhan air minum. Setelah suaminya selesai minum dan rasa
capeknya hilang, sang Istri pun kembali menanyakan tentang hasil pekerjaannya
hari itu.
“Bagaimana hasilnya hari ini, Bang?”
“Belum selesai, Dik!” jawab sang Suami. Keesokan harinya, sang Suami
kembali ke hutan. Setiba di sana, ia pun kembali hanya duduk termenung.
Begitulah pekerjaannya setiap hari. Begitupula jika ditanyai oleh istrinya
tentang hasil pekerjaannya, ia selalu menjawab “belum selesai”.
Oleh karena penasaran ingin melihat hasil pekerjaan suaminya, suatu siang
sang Istri menyusulnya ke hutan tempatnya bekerja. Sesampainya di tempat itu,
ia mendapati suaminya duduk termenung sambil bersandar di bawah sebuah pohon.
Alangkah kecewanya sang Istri, karena lahan perkebunan yang diharapkannya tidak
terwujud.
“Bang! Mana lahan perkebunan itu?” tanya sang Istri.
Mendengar pertanyaan istrinya itu, sang Suami bukannya menjawabnya. Akan
tetapi, ia segera bangkit dari tempat duduknya, kemudian langsung pulang dengan
perasaan marah. Rupanya, ia merasa tersinggung karena istrinya menyusul ke
hutan. Mengetahui suaminya marah, sang Istri pun mengikutinya dari belakang.
Sesampai di rumah, kemarahan sang Suami semakin memuncak. Ia melampiaskan
kemarahannya dengan membanting barang-barang yang ada di dalam rumahnya. Sang Istri
yang tidak menerima kelakuan suaminya itu langsung berlari menuju ke hutan
sambil menangis. Sesampainya di tengah hutan, ia langsung menceburkan diri ke
dalam sebuah telaga. Sementara itu, sang Suami yang baru menyadari akibat dari
kelakuannya segera mengajak anaknya untuk menyusul istrinya ke tengah hutan.
“Ayo Anakku, kita susul Ibumu ke hutan!” ajak sang Ayah sambil menarik
tangan anaknya.
“Baik, Ayah!” jawab anaknya.
Sesampainya di tengah hutan, tidak jauh dari hadapan mereka terlihatlah
sang Istri berada di tengah telaga. Tubuhnya sedikit demi sedikit menjelma
menjadi pohon sagu. Melihat peristiwa itu, ayah dan anak itu pun segera berlari
mendekati telaga.
“Maafkan aku, Dik! Kembalilah!” teriak sang Suami.
“Ibu…, Ibu…. Aku ikut!” teriak anaknya sambil menangis.
“Kamu di sini saja, Anakku! Tidak usah ikut ibumu, sebentar lagi dia
kembali,” bujuk sang Ayah.
“Tidak Ayah! Aku mau ikut Ibu,” kata anaknya meronta-ronta.
Sang Ayah terus berusaha membujuk anaknya agar berhenti menangis. Namun,
sang Anak tetap menangis dan bersikeras ingin ikut ibunya. Saat sang Ayah
lengah, si anak pun berlari dan terjun masuk ke dalam telaga. Maka seketika itu pula, ia
menjelma menjadi sebatang pohon sagu seperti ibunya.
Setelah melihat peristiwa itu, barulah sang Suami sadar dan menyesali semua
perbuatannya.
“Maafkan aku, Istriku! Maafkan aku, Anakku! Aku sangat menyesal atas semua
perbuatanku kepada kalian,” ucapnya sambil menangis berderai air mata.
Berulang kali sang Suami meminta maaf kepada istri maupun kepada anaknya.
Namun, apa hendak dikata, nasi sudah menjadi bubur. Menyesal kemudian tiadalah
guna. Istri dan
anaknya telah menjelma menjadi pohon sagu. Ia pun tidak ingin hidup sendirian
tanpa istri dan anaknya. Akhirnya, ia pun ikut terjun ke dalam telaga itu.
Ketika itu pula ia pun menjelma menjadi sebatang pohon palem.
27. SULAWESI SELATAN (Lamadukelleng)
Alkisah, di
sebuah negeri di daerah Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, hidup seorang raja
muda yang arif dan bijaksana. Raja tersebut sangat perhatian terhadap kehidupan
rakyatnya. Ia seringkali berjalan-jalan ke pelosok-pelosok desa untuk melihat
langsung keadaan rakyatnya dengan menyamar sebagai rakyat biasa. Pada suatu
malam, sang Raja berjalan-jalan di sebuah perkampungan yang terletak di sekitar
sungai Jeneberang. Ketika berada di perkampungan itu, tanpa sengaja, ia
mendengar percakapan dua gadis miskin kakak-beradik yang cantik jelita. “Kak,
siapakah nanti yang ingin engkau jadikan suamimu?” tanya sang Adik.“Aku ingin
bersuamikan tukang masak Raja,” jawab sang Kakak.
“Kenapa,
Kak?” sang Adik kembali bertanya.“Kalau bersuamikan tukang masak Raja, kita
tidak pernah merasa kelaparan lagi seperti ini,” jawab sang Kakak.“Kalau kamu,
siapakah yang engkau inginkan jadi suamimu?” sang Kakak balik bertanya.“Kalau
aku, ingin menjadi istri Raja,” jawab sang Adik.“Wah, tinggi sekali
angan-anganmu, Dik!” ucap sang Kakak.“Iya, Kak! Aku ingin jadi penguasa negeri
ini,” imbuh sang Adik.Beberapa saat kemudian, keduanya pun tertawa mendengar
jawaban masing-masing. Sementara itu, sang Raja yang mendengar percakapan
mereka pun tersenyum.“Baiklah kalau itu yang kalian inginkan. Aku akan
mewujudkan angan-angan kalian,” kata sang Raja dalam hati seraya berlalu dari
tempat itu.Keesokan harinya, Sang Raja mengutus beberapa orang pengawal istana untuk
memanggil kedua gadis miskin tersebut untuk menghadap kepadanya.“Hai, Kalian! Ikutlah bersama kami ke istana
untuk menghadap Raja!” seru utusan Raja.“Maaf, Tuan! Kenapa kami disuruh
menghadap Raja? Apa salah kami, Tuan?” tanya sang Kakak kepada utusan Raja
dengan wajah pucat.“Maaf, kami hanya menjalankan tugas,” jawab seorang
utusan.Dengan perasaan cemas, kedua gadis itu terpaksa mengikuti para utusan
Raja. Di sepanjang perjalanan, hati keduanya terus diselimuti oleh perasaan
cemas.“Jangan-jangan Raja mengetahui percakapan kami semalam,” pikir
mereka.Sesampainya di istana, keduanya pun langsung memberi hormat kepada sang
Raja.“Ampun, Baginda! Ada apa gerangan Baginda memanggil kami?” tanya sang
Kakak.“Aku sempat mendengar percakapan kalian semalam. Benarkah yang kalian
katakan itu?” sang Raja balik bertanya.Mendengar pertanyaan Raja, kedua gadis
itu pun semakin ketakutan. Mereka takut berterus terang kepada Raja. Mereka
hanya saling melirik.“Kalian tidak usah takut. Jawab saja dengan jujur!” kata
sang Raja.Oleh karena didesak oleh Raja, akhirnya kedua gadis itu bercerita
bahwa sang Kakak hendak bersuamikan tukang masak Raja, sedangkan sang Adik
ingin bersuamikan Raja. San Raja pun mengabulkan keinginan mereka. “Baiklah,
aku kabulkan keinginan kalian. Aku bersedia menikah denganmu,” kata sang Raja
sambil menunjuk sang Adik. Mendengar pernyataan sang Raja, kedua gadis yang
semula takut berubah menjadi gembira dan bahagia.“Benarkah itu, Baginda?” tanya
sang Adik seakan-akan tidak percaya.“Percayalah! Aku tidak akan berbohong
kepada kalian,” jawab sang Raja.“Terima kasih, Baginda Raja,” ucap kedua gadis
itu serentak sambil memberi hormat.Seminggu kemudian, pesta perkawinan mereka
pun dilangsungkan. Sang Kakak menikah dengan tukang masak Raja, sedangkan sang
Adik menikah dengan Raja. Namun, dalam hati sang Kakak terselip perasaan
menyesal dan iri hati kepada adiknya yang bersuamikan Raja, sementara ia
sendiri hanya bersuamikan tukang masak.Setahun kemudian, sang Adik melahirkan
seorang bayi laki-laki yang tampan. Namun, sebelum sang Adik sempat melihat
bayinya karena pingsan saat melahirkan, sang Kakak yang membantu persalinannya
menukar bayinya dengan seekor kucing dan segera membuang bayi itu ke Sungai
Jeneberang. Setelah itu, ia memerintahkan beberapa pengawal untuk
menyebarluaskan berita itu ke seluruh penghuni istana dan rakyat negeri bahwa
istri Raja melahirkan seekor kucing. Sang Raja yang mendengar berita buruk itu
pun menjadi malu dan murka kepada istrinya.
“Pengawal! Jika istriku sudah siuman, segera bawa dia ke penjara bawah
tanah. Dia benar-benar telah membuatku malu!” seru sang Raja.“Baik, Baginda!”
jawab para pengawal.Beberapa saat kemudian, sang Permaisuri pun siuman. Para
pengawal istana segera membopong tubuhnya yang masih lemas itu ke penjara bawah
tanah.Sementara itu, bayi laki-laki yang dibuang ke Sungai Jeneberang hanyut
terbawa arus menuju ke arah hilir. Kebetulan di daerah hilir ada seorang kakek
sedang memancing ikan. Saat sedang asyik memancing, tiba-tiba sebuah bungkusan
melintas di dekatnya.“Hei, bungkusan apa itu?” gumam nelayan itu.Rupanya, kakek
itu tertarik melihat bungkusan itu. Ia pun segera mengambil sebatang bambu dan
menggait bungkusan itu ke tepi sungai. Alangkah terkejutnya ia saat melihat
seorang bayi mungil tergolek di dalamnya.“Wah, bayi siapa ini? Sungguh tega
orangtua yang telah membuang bayinya,” gumam kakek itu.
Tanpa berpikir panjang, kakek itu pun segera membawa bayi itu ke rumahnya
dan menyerahkannya kepada istrinya. Alangkah bahagianya mereka, karena telah
mendapatkan bayi yang sudah lama mereka idam-idamkan. Sebab, sudah puluhan
tahun mereka menikah, tapi belum dikaruniai seorang anak. Mereka pun merawat
dan membesarkan bayi itu dengan penuh perhatian dan kasih sayang. Ketika anak
itu berumur belasan tahun, mereka pun membekalinya dengan berbagai pengetahuan,
keterampilan berburu, serta ilmu bela diri. Mereka memberinya nama
Lamadukelleng.Waktu terus berjalan. Lamadukelleng tumbuh menjadi pemuda yang
tampan. Sang Kakek dan istrinya merasa bahwa kini saatnya mereka harus
menceritakan asal usul Lamadukelleng. Pada suatu hari, ia pun menceritakan
bahwa mereka sebenarnya bukanlah orangtua Lamadukelleng.“Ketahuilah, Nak! Kami
ini bukanlah orangtuamu yang telah melahirkanmu. Kami hanya menemukanmu hanyut
terbawa arus di Sungai Jeneberang,” cerita si Kakek“Jika benar yang kalian
katakan itu, lalu siapakah orangtuaku yang sebenarnya? Dan di mana mereka sekarang?”
tanya Lamadukelleng penasaran.“Maaf, Nak! Kami juga tidak tahu siapa sebenarnya
orangtuamu. Tapi, jika kamu ingin mengetahui orang yang telah melahirkanmu,
susurilah Sungai Jeneberang hingga ke atas gunung, niscaya kamu akan menemukan
mereka,” pesan si Kakek.Keesokan harinya, Lamadukelleng pun bersiap-siap untuk
berangkat hendak mencari orangtuanya. Sebelum berangkat, si Kakek membekalinya
dua buah benda pusaka.
“Anakku, bawalah keris dan permata pusaka ini! Siapa tahu suatu saat kamu akan
membutuhkannya,” kata si Kakek sambil menyerahkan kedua pusaka itu.“Terima
kasih atas semua kebaikan kalian. Kalian telah bersusah payah merawat dan
membesarkanku. Kelak jika aku telah menemukan orangtuaku, aku pasti akan
kembali menemui kalian,” ucap Lamadukelleng.
Usai berpamitan, Lamadukelleng berangkat menuju ke arah hulu Sungai
Jeneberang. Berhari-hari lamanya ia berjalan menyusuri tepian Sungai
Jeneberang. Pada suatu malam, ia berhenti di suatu tempat untuk beristirahat.
Setelah menemukan tempat berlindung dari dinginnya angin malam, ia pun
merebahkan tubuhnya dan langsung tertidur lelap karena kelelahan. Pada malam
itu, ia bermimpi didatangi orang tua yang mengaku sebagai leluhurnya.“Hai,
Cucuku! Jika kamu berjalan naik ke arah gunung itu, kamu akan menemukan sebuah
telaga yang terletak di lereng gunung. Mandilah di telaga itu dan celupkan
keris dan permata pemberian orangtua asuhmu itu ke dalam air telaga. Dengan
keris dan permata yang telah dilumuri air telaga itu, kamu dapat mengobati
segala jenis penyakit,” pesan orang tua itu.Keesokan harinya, Lamadukelleng pun
segera melaksanakan pesan orang tua itu. Ketika sampai di lereng gunung, ia pun
menemukan sebuah telaga yang sangat jernih airnya. Ketika ia akan mencebur ke
dalam telaga itu, tiba-tiba seekor naga besar muncul ke permukaan telaga. Ia
pun mundur beberapa langkah dan langsung teringat dengan pusaka pemberian
orangtua asuhnya. Tanpa berpikir panjang, ia segera mencabut kerisnya yang
terselip di pinggangnya. Ular naga yang merasakan getaran dahsyat dari keris
itu menjadi terpaku. Pada saat itulah Lamadukelleng segera menghujamkan
kerisnya berulang-ulang ke tubuh ular naga itu hingga mati.Usai beristirahat
sejenak, Lamadukelleng pun mandi dan mencelupkan keris dan permatanya ke dalam
air telaga. Ia berharap semoga dengan keris dan pusaka itu akan dapat menolong
orang-orang yang membutuhkannya.Setelah itu, Lamadukelleng melanjutkan
perjalanan menuju ke arah gunung. Sebelum mencapai gunung itu, ia menemukan
sebuah perkampungan yang tanahnya subur, indah dan sejuk. Namun, ketika memasuki
perkampungan itu, ia melihat segerombolan perampok menyerbu dan merampas harta
benda para warga. Para warga berusaha melakukan perlawanan. Namun karena jumlah
perampok itu cukup banyak dan memiliki ilmu bela diri yang baik, para penduduk
pun mulai terdesak. Lama-kelamaan korban pun mulai berjatuhan dari pihak
warga.Lamadukelleng yang melihat keadaan itu segera berkelebat ke tengah-tengah
medan pertempuran untuk membantu para warga. Dengan kemampuan bela diri yang
tinggi, ia bergerak ke sana kemari dengan gesitnya, menghantam para perampok
dengan pukulan dan tendangan secara bertubi-tubi. Dalam waktu sekejap, ia
berhasil menghalau para perampok tersebut. Penduduk sangat takjub melihat
kesaktian Lamadukelleng.Ketika suasana mulai tenang, Lamadukelleng segera
menyuruh para warga untuk membawa korban ke tempat yang aman. Setelah itu, ia
pun mulai mengobati para warga yang terluka terkena sabetan golok dan pedang.
Dengan keris dan permata pusakanya, Lamadukelleng berhasil mengobati mereka.
Melihat kesaktian Lamadukelleng, para pemuka masyarakat kampung itu pun
memintanya agar bersedia mengobati warga lainnya yang terkena berbagai macam
penyakit.“Anak Muda! Bolehkah kami meminta bantuan lagi kepadamu?” pinta kepala
kampung.“Apa yang dapat saya bantu, Tuan?” tanya Lamadukelleng.
“Warga kami banyak yang terkena penyakit, mulai dari kesurupan hingga
teluh. Barangkali kamu bisa menyembuhkan mereka,” jawab kepala
kampung.Lamadukelleng pun menerima permintaan kepala kampung itu. Ia tinggal
beberapa hari di kampung itu untuk mengobati para warga yang sedang sakit.
Berkat keris dan permata pusakanya, ia berhasil menyembuhkan para warga dari
berbagai macam penyakit yang menimpa mereka. Sejak saat itu, Lamadukelleng pun
terkenal sebagai ahli bela diri dan pengobatan hingga ke berbagai penjuru
negeri.
Pada suatu hari, berita tentang kesaktian Lamadukelleng itu pun sampai ke
telinga Raja yang tinggal di wilayah pegunungan. Rupanya Raja itu tidak lain
adalah ayah kandung Lamadukelleng. Ia sudah bertahun-tahun menderita penyakit
lumpuh lantaran mengetahui istrinya melahirkan seekor kucing. Ia tidak bisa
bangkit lagi dari tempat tidurnya. Berbagai orang pintar telah didatangkan
untuk mengobatinya, namun tak seorang pun yang mampu menyembuhkannya.
Mendengar kabar tentang kehebatan seorang pemuda yang bernama
Lamadukelleng, Raja pun memerintahkan beberapa orang pengawalnya untuk mengundang
pemuda itu ke istana. Sesampainya di istana, sang Raja menatap pemuda itu
dengan penuh perhatian. Pada saat itu tiba-tiba hati sang Raja bergetar. Dalam
hatinya terbersit perasaan tali kasih terhadap pemuda itu. Demikian pula
sebaliknya, Lamadukelleng pun merasakan hal yang sama saat berada di depan
Raja. Walau demikian, Lamadukelleng berusaha menepis perasaan itu, karena ia
harus berkonsentrasi untuk mengobati Raja.“Maaf, Tuan! Tolong ambilkan aku
segelas air minum!” pinta Lamadukelleng kepada seorang pelayan istana.
Setelah air minum tersedia, Lamadukelleng pun mencelupkan permata dan ujung
kerisnya ke dalam air itu. Kemudian meminta kepada pelayan istana agar segera
meminumkan air itu kepada Raja. Sang Raja pun merasakan minuman itu sangat
nikmat dan langsung menjalar ke seluruh tubuhnya. Ajaibnya, sesaat kemudian
sang Raja mampu menggerakkan tubuhnya yang lumpuh dengan pelan-pelan. Tak lama
berselang, sang Raja pulih seperti sedia kala. Alangkah suka-citanya hati sang
Raja. Ia tidak lupa berterima kasih kepada pemuda itu.
“Terima kasih, Nak! Kamu telah menyembuhkan penyakit yang aku derita selama
puluhan tahun. Kalau boleh aku tahu, dari manakah asal usulmu? Dan Siapa kedua
orangtuamu?” tanya sang Raja. Mendengar pertanyaan itu, Lamadukelleng hanya
terdiam. Ia tidak tahu harus menjawab apa, sebab ia sendiri sedang mencari
kedua orangtuanya.
“Ampun, Baginda! Hamba juga tidak tahu dari mana asal usul hamba. Tapi,
menurut Kakek dan Nenek yang telah merawat hamba, hamba ditemukan terhanyut di
Sungai Jeneberang saat hamba masih bayi. Kakek hanya berpesan supaya hamba
menyusuri Sungai Jeneberang hingga ke atas gunung agar dapat menemukan orangtua
hamba yang sebenarnya,” cerita Lamadukelleng.
“Aku turut berduka cita atas keadaanmu, Nak! Semoga saja kelak kamu
menemukan kedua orangtuamu,” ucap sang Raja.“Terima kasih, Baginda! Hamba juga
berharap demikian,” kata Lamadukelleng.Setelah itu, Lamadukelleng pun disuruh
tinggal beberapa hari di sebuah pondok di samping istana.“Pelayan! Tolong
layani pemuda itu dengan baik. Berikan kepadanya pakaian yang bagus dan makanan
yang lezat!” titah sang Raja.<
Saat malam menjelang, sang Raja duduk termenung seorang diri di serambi
istana. Ia membayangkan kisah puluhan tahun yang lalu, ketika istrinya
melahirkan seekor kucing. Dalam lamunannya, tiba-tiba sang Raja merasa ada
sesuatu yang mengganjal pikirannya.“Benarkah istriku melahirkan seekor kucing?
Ah, tidak mungkin manusia dapat melahirkan seekor binatang,” pikirnya Sang Raja
pun teringat kepada kakak istrinya yang membantu persalinan istrinya. Ia pun
segera memanggil kakak istrinya dan suaminya untuk segera menghadap. Sang Kakak
dan suaminya pun terkejut mendengar panggilan Raja. Baru kali ini sang Raja
memanggil mereka untuk menghadap. Mereka pun mulai ketakutan. “Bang!
Jangan-jangan Raja telah mengetahui semua kebohongan kita. Perasaan berdosa
tiba-tiba menghantui hatiku,” kata sang Kakak kepada suaminya.“Entahlah,
Istriku,” kata suaminya dengan cemas. Sesampainya di depan Raja, sepasang
suami-istri itu pun langsung memberi hormat kepada Raja. Sang Raja pun menatap
sang Kakak dengan pandangan yang tajam dan penuh wibawa. “Seingatku, kamulah
yang menjaga istriku saat melahirkan. Benarkah begitu?” tanya Raja kepada sang
Kakak. “Be... benar, Baginda!” jawab sang Kakak dengan gugup. “Kalau begitu,
aku mau bertanya kepadamu. Benarkah istriku melahirkan seekor kucing? Ayo,
jawablah dengan jujur!” bentak sang Raja. Mendengar bentakan Raja, sang Kakak
bersama suaminya pun langsung bersujud di hadapan Raja. “Ampuni hamba, Baginda!
Hamba dan suami hamba telah bersalah. Kami telah menukar putra Baginda dengan
seekor kucing. Ampuni kami, Baginda! Tolong jangan hukum kami!” pinta sang
Kakak.
Mendengar jawaban itu, sang Raja bagai disambar petir. Ia benar-benar tidak
menyangka jika sang Kakak bersama suaminya telah tega melakukan hal itu. Sang
Raja pun tiba-tiba teringat kepada istrinya di penjara selama berpuluh-puluh
tahun. Ia benar-benar merasakan kepedihan yang luar biasa, karena telah
menghukum istrinya yang tidak bersalah. Dengan wajah merah padam, ia pun
memalingkan wajahnya ke arah sang Kakak dan suaminya.“Lalu, kamu apakan putraku
waktu itu?” tanya sang Raja lebih lanjut.
“Ampun, Baginda! Hamba menghanyutkannya ke Sungai Jeneberang,” jawab sang
Kakak
Mendengar jawaban itu, tubuh sang Raja tiba-tiba bergetar. Saat itu pula,
ia langsung teringat kepada pemuda yang telah mengobatinya. Maka muncullah
dugaan dalam hatinya bahwa pemuda itu adalah putranya.
“Tidak salah lagi, pemuda itu adalah putraku. Pantas hatiku selalu bergetar
bila menatapnya,” kata sang Raja dalam hati.
Sang Raja pun segera memerintahkan pengawal istana untuk membebaskan
istrinya dan memanggil Lamadukelleng untuk menghadap. Ketika sang Raja bersama
istri dan putranya berkumpul, sang Raja pun menceritakan kisahnya di masa lalu
kepada istri dan putranya bahwa bayi yang dilahirkan istrinya dibuang ke Sungai
Jeneberang oleh kakak iparnya.
Mendengar kisah Raja yang persis sama dengan kisah yang dialaminya, tanpa
ragu lagi Lamadukelleng langsung memeluk Raja yang merupakan ayah kandungnya
sendiri. Sang Ayah pun membalas pelukan
putranya dengan pelukan erat.
“Putraku!
Sejak melihatmu, Ayah selalu merasakan getaran batin dan kasih sayang kepadamu.
Rupanya itu pertanda bahwa kamu adalah putraku,” kata sang Raja sambil meneteskan
air mata.
“Iya, Ayahanda! Ananda juga merasakan demikian,” sahut Lamadukelleng.
Istri Raja hanya mampu membisu memandangi suami dan anaknya yang sedang
berpelukan dengan penuh rasa haru. Beberapa saat kemudian, sang Raja pun segera
merangkul istrinya. Mereka pun saling berpelukan menumpahkan kerinduan
masing-masing. Suasana haru itu berlangsung cukup lama.
“Maafkan aku, Dinda! Kanda telah mencampakkan kalian sehingga harus
mengalami penderitaan hingga puluhan tahun,” ucap Sang Raja
“Sudahlah, Kanda! Yang penting kita semua sudah berkumpul kembali. Kita
akan memulai hidup baru yang lebih baik,” kata sang Istri menghibur suaminya.
Usai melepaskan kerinduan, Sang Raja pun segera berpaling ke arah kakak
iparnya dan suaminya.
“Kalianlah yang telah menyebabkan kami menderita seperti ini. Kalian harus
mendapat hukuman yang setimpal. Pengawal! Bawa mereka ke penjara bawah tanah!”
titah sang Raja.
Seminggu
kemudian, Lamadukelleng pun dinobatkan menjadi Raja menggantikan ayahnya yang
sudah tua. Lamadukelleng memerintah negerinya dengan adil dan bijaksana. Semua
titahnya senantiasa ditaati oleh rakyatnya. Negerinya pun aman, makmur, dan
sejahtera.
28. SULAWESI TENGGARA (La Moule Anak
Yatim)
Alkisah, di
sebuah dusun di daerah Sulawesi Tenggara, hiduplah seorang anak laki-laki yatim
bernama La Moelu yang masih berusia belasan tahun. Ibunya meninggal dunia sejak
ia masih bayi. Kini, ia tinggal bersama ayahnya yang sudah sangat tua dan tidak
mampu lagi mencari nafkah. Jangankan bekerja, berjalan pun harus dibantu dengan
sebuah tongkat. Untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, La Moelu-lah yang harus
bekerja keras. Karena masih anak-anak, satu-satunya pekerjaan yang dapat
dilakukannya adalah memancing ikan di sungai yang terletak tidak jauh dari
tempat tinggalnya. Pada suatu hari, La Moelu pergi memancing ikan di sungai.
Hari itu, ia membawa umpan dari cacing tanah yang cukup banyak dengan harapan
dapat memperoleh ikan yang banyak pula. Saat ia tiba di tepi sungai itu,
tampaklah kawanan ikan muncul di permukaan air. Ia pun semakin tidak sabar
ingin segera menangkap ikan-ikan tersebut. Dengan penuh semangat, ia segera
memasang umpan pada mata kailnya lalu melemparkannya ke tengah-tengah kawanan
ikan itu. Setelah itu, ia duduk menunggu sambil bersiul-siul. Anehnya, sudah
cukup lama ia menunggu, namun tak seekor ikan pun yang menyentuh umpannya.
“Hei, ke mana perginya kawanan ikan itu? Padahal tadi aku melihat mereka
bermunculan di permukaan air,” gumam La Moelu heran.Hari semakin siang. La
Moelu belum juga memperoleh seekor ikan pun. Mulanya, ia berniat untuk berhenti
memancing. Namun karena penasaran terhadap kawanan ikan tersebut, akhirnya ia
pun memutuskan untuk meneruskannya. “Ah, aku tidak boleh putus asa! Barangkali
saja ikan-ikan tersebut belum menemukan umpanku,” pikirnya.Alhasil, beberapa
saat kemudian, tiba-tiba kailnya bergetar. Dengan penuh hati-hati, ia menarik
kailnya ke tepi sungai secara perlahan-lahan. Ketika kailnya terangkat,
tampaklah seekor ikan kecil yang mungil terkait di ujung kailnya. Meski hanya
memperoleh ikan kecil, hati La Moelu tetap senang karena bentuk ikan itu sangat
indah. Akhirnya, ia pun membawa pulang ikan itu untuk ditunjukkan kepada
Ayahnya. Sesampainya di rumah, ayahnya pun merasa senang melihat ikan itu.“Ikan
apa yang kamu bawa itu, Anakku? Indah sekali bentuknya,” ucap ayahnya dengan
perasaan kagum. “Entahlah, Ayah!” jawab La Moelu.“Sebaiknya ikan ini diapakan,
Ayah?” tanya La Moelu.“Sebaiknya kamu pelihara saja ikan itu, Anakku! Kalaupun
pun dimasak pasti tidak cukup untuk kita makan berdua,” ujar sang Ayah.
Orang tua
renta itu kemudian menyuruh La Moelu agar menyimpan ikan itu ke dalam kembok
yang berisi air. La Moelu pun menuruti petunjuk ayahnya. Keesokan harinya, betapa
terkejutnya La Moelu saat melihat ikan itu sudah sebesar kembok. Ayahnya pun
terperanjat saat melihat kejadian aneh itu.“Pindahkan segera ikan itu ke dalam
lesung!” perintah sang Ayah.Mendengar perintah itu, La Moelu pun segera mengisi
lesung itu dengan air, lalu memasukkan ikan tersebut ke dalamnya. Keesokan harinya, kejadian aneh
itu terulang lagi. Ikan itu sudah sebesar lesung. Sang Ayah pun segera menyuruh
La Moelu agar memindahkan ikan itu ke dalam guci besar. Pada hari berikutnya,
ikan itu berubah menjadi sebesar guci. La Moelu pun mulai kebingungan mencari
wadah untuk menyimpan ikan itu.“Di mana lagi kita akan menyimpan ikan ini,
Ayah?” tanya La Moelu bingung.Sang Ayah pun menyuruh La Moelu agar memasukkan
ikan itu ke dalam drum yang berada di samping rumah mereka. La Moelu segera
memasukkan ikan itu ke dalam drum tersebut. Keesokan harinya, ikan itu sudah
sebesar drum. Ayah dan anak itu semakin bingung, karena mereka tidak memiliki
lagi wadah yang bisa menampung ikan itu. Akhirnya, sang Ayah menyuruh La Moelu
membawa ikan itu ke laut. La Moelu pun membawa ikan itu ke laut. Sebelum
melepas ikan itu ke laut, terlebih dahulu ia memberi nama ikan itu dan berpesan
kepadanya.“Hai, Ikan! Aku memberimu nama Jinnande Teremombonga. Jika aku
memanggil nama itu, segeralah kamu datang ke tepi laut, karena aku akan
memberimu makan!” ujar La Moelu.Ikan itu pun mengibas-ngibaskan ekornya
pertanda setuju. Setelah itu, La Moelu pun melepasnya. Ikan itu tampak senang
dan gembira karena bisa berenang dengan bebas di samudera luas. Keesokan harinya, pagi-pagi
sekali, La Moelu kembali ke laut untuk memberi makan ikan itu. Sesampainya di tepi laut, ia pun
segera berteriak memanggil ikan itu.
“Jinnande Teremombonga...!!!”
Tak berapa lama, Jinnande Teremombonga pun datang menghampirinya. Setelah
makan, ikan itu kembali ke laut lepas. Demikianlah kegiatan La Moelu setiap
pagi.Pada suatu pagi, ketika La Moelu sedang memberi makan Jinnande
Teremombonga, ada tiga orang pemuda sedang mengintainya dari atas pohon yang
rimbun. Mereka adalah keluarga yang juga tetangga La Moelu. Ketika melihat
seekor ikan raksasa mendekati La Moelu, ketiga pemuda itu tersentak kaget.
Melihat hal itu, maka timbullah niat jahat mereka ingin menangkap ikan itu.
“Kawan-kawan! Ayo kita tangkap ikan itu!” seru salah seorang dari
mereka.“Tunggu dulu! Kita jangan gegabah! Kita tunggu sampai La Moelu pulang,
setelah itu barulah kita menangkap ikan itu,” cegah seorang pemuda yang
lain.Setelah La Moelu kembali ke rumahnya, ketiga pemuda itu segera turun dari
pohon lalu berjalan menuju ke tepi laut. Sesampainya di tepi laut, salah
seorang di antara mereka maju beberapa langkah lalu berteriak memanggil ikan
itu.““Jinnande Teremombonga...!!!”Dalam sekejap, Jinnande Teremombonga pun
datang ke tepi laut. Namun, saat melihat orang yang berteriak memanggilnya itu
bukan tuannya, ikan itu segera kembali berenang ke tengah laut. “Hai, kenapa
ikan itu pergi lagi?” tanya pemuda yang berteriak tadi.“Ah, barangkali dia
takut melihat kamu. Mundurlah! Biar aku yang mencoba memanggilnya,” kata pemuda
yang lainnya seraya maju ke tepi laut.Tidak berapa lama setelah pemuda itu
berteriak memanggilnya, Jinnande Teremombonga datang lagi. Ketika melihat wajah
orang yang memanggilnya tidak sama dengan wajah tuannya, ia pun segera kembali
ke tengah laut. Ketiga pemuda itu mulai kesal melihat perilaku ikan itu. Mereka
pun bingung untuk bisa menangkap ikan itu.Setelah berembuk, ketiga pemuda
tersebut menemukan satu cara, yakni salah seorang dari mereka akan berteriak
memanggil ikan itu, sementara dua orang lainnya akan menombaknya. Ternyata
rencana mereka berhasil. Pada saat ikan itu datang ke tepi laut, kedua pemuda
yang sudah bersiap-siap segera menombaknya. Ikan itu pun mati seketika. Mereka
memotong-motong daging ikan itu lalu membagi-baginya. Setiap orang mendapat
bagian satu pikul. Setelah itu, mereka membawa pulang bagian masing-masing.
Betapa senangnya hati keluarga mereka saat melihat daging ikan sebanyak
itu.Keesokan harinya, La Moelu kembali ke laut untuk memberi makan ikan kesayangannya
itu. Sesampainya di tepi laut, ia pun segera berteriak memanggilnya.“Jinnande
Teremombonga..!!!” Sudah cukup lama La Moelu menunggu, namun ikan itu belum
juga muncul. Berkali-kali ia berteriak memanggil dengan suara yang lebih keras,
tapi ikan itu tak kunjung datang ke tepi laut. La Moelu pun mulai cemas
kalau-kalau terjadi sesuatu dengan Jinnande Teremombonga.“Ke mana perginya
Jinnande Teremombonga? Biasanya, aku hanya sekali memanggil dia sudah datang.
Tapi kali ini, aku sudah berkali-kali memanggilnya, dia belum juga muncul.
Apakah ada orang yang telah menangkapnya?” gumam La Moelu.Hingga hari menjelang
siang, ikan itu tak kunjung datang. Akhirnya, La Moelu pun kembali ke rumahnya
dengan perasaan kesal dan sedih. Dalam perjalanan pulang, ia selalu memikirkan
nasib ikan kesayangangnya itu. Sesampainya di rumah, ia pun menceritakan hal
itu kepada ayahnya. Namun, sang Ayah tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali hanya
menasehatinya.“Sudahlah, Anakku! Barangkali ikan itu pergi mencari
teman-temannya ke tengah samudra sana,” ujar ayahnya.Pada malam harinya, La
Moelu berkunjung ke rumah salah seorang pemuda yang telah mencuri ikannya.
Kebetulan pada saat itu, pemuda itu sedang makan bersama keluarganya. Saat
melihat lauk yang mereka makan dari daging ikan besar, tiba-tiba La Moelu
teringat pada Jinannande Teremombonga.
“Wah,
jangan-jangan ikan yang mereka makan itu si Jinnande Teremombonge,” pikirnya.La
Moelu pun menanyakan dari mana mereka memperoleh ikan itu. Mulanya, pemuda itu
enggan untuk memberitahukannya, namun setelah didesak oleh La Moelu akhirnya ia
pun menceritakan semuanya.“Tadi pagi aku menangkapnya di tepi laut. Memangnya
kenapa, hai anak yatim? Apakah kamu ingin juga menikmati kelezatan ikan ini?”
tanya pemuda itu dengan nada mengejek.Betapa sedihnya hati La Moelu setelah
mendengar cerita pemuda itu. Ternyata dugaannya benar bahwa lauk yang mereka
makan itu adalah daging Jinnande Teremombonga. Hati La Moelu bertambah sedih
ketika pemuda itu menawarkan daging ikan itu kepadanya, namun yang diberikan kepadanya
ternyata hanya daun pepaya. Meski diperlakukan demikian, La Moelu tidak merasa dendam kepada pemuda
itu. Ketika hendak pulang ke rumahnya, La Moelu memungut tulang ikan yang
dibuang oleh pemuda itu. Ketika sampai di depan rumahnya, ia mengubur tulang
ikan itu agar dapat mengenang Jinnande Teremombonga, ikan kesayangannya.
Keesokan harinya, La Moelu dikejutkan oleh sesuatu yang aneh terjadi pada
kuburan itu, di atasnya tumbuh sebuah tanaman. Anehnya lagi, tanaman itu
berbatang emas, berdaun perak, berbunga intan, dan berbuah berlian. Ia pun
segera memberitahukan peristiwa aneh itu kepada ayahnya. ‘Ayah! Coba lihat tanaman ajaib di depan
rumah kita!” ajak La Moelu. Ayah La Moelu pun segera keluar dari rumah sambil
berjalan sempoyongan. Alangkah terkejutnya ketika si tua renta itu melihat
tanaman ajaib itu.“Hai, Anakku! Bagaimana tanaman ajaib ini bisa tumbuh di
sini?” tanya ayah La Moelu dengan heran.La Moelu pun menceritakan semua
sehingga tanaman ajaib itu tumbuh di depan rumah mereka. Ayah La Moelu pun
menyadari bahwa itu semua adalah berkat dari Tuhan Yang Mahakuasa yang
diberikan kepada mereka. Akhirnya, mereka pun membiarkan tanaman itu tumbuh
menjadi besar. Para penduduk yang mengetahui keberadaan tanaman ajaib itu silih
berganti berdatangan ingin menyaksikannya. Semakin hari, tanaman itu semakin
besar. La Moelu pun mulai menjual ranting, daun, bunga, dan buahnya sedikit
demi sedikit. Uang hasil penjualannya kemudian ia tabung. Lama kelamaan La
Moelu pun menjadi seorang kaya raya yang pemurah di kampungnya. Ia senantiasa
membantu para penduduk yang miskin, termasuk ketiga pemuda yang pernah
menangkap ikan kesayangannya. Tak heran, jika seluruh penduduk di kampung itu sangat hormat dan sayang
kepada La Moelu. La Moelu pun
hidup sejahtera dan bahagia bersama ayahnya.
29. GORONTALO (Legenda Bulalo
Lo Limutu (Danau Limboto))
Dulunya, kabupaten Limboto merupakan lautan yang di batasi oleh dua gunung,
yaitu gunung Tilongkabila dan gunung Boliohuto. Suatu hari, air laut itu
surut,sehingga membentuk sebuah daratan yang lama kelamaan menjadi hutan lebat
dan penuh semak belukar. Tapi dataran rendahnya sebagian besar masih di genangi
air tawar. Sedangkan mata air yang bersih dan jernih berada di daratan,
tepatnya di tengah - tengah hutan yang sulit banget di jangkau oleh manusia.
Tempat itu di sebut tupalo, dan para bidadari sering mandi di situ. Ketika
mereka sedang mandi, datang seorang cowok yang merupakan jelmaan dari
khayangan. Cowok tersebut bernama Jilumoto. Dia berhasil mengambil sayap milik
Mbu'i Bungale, kakak tertua dari rombongan bidadari - bidadari itu. setelah
selesai mandi, Mbu'i Bungale nyadar kalau sayapnya hilang dan dia ga' bisa
balik ke langit bersama saudara - saudaranya. Di saat itu juga, Jilumoto muncul
dari tempat persembunyiaannya dan berkenalan dengan Mbu'i Bungale. Ga' nyangka
ternyata perkenalan itu berakhir pada sebuah pernikahan. Pasangan suami - istri
ini pun memutuskan untuk menjadi penghuni dunia dan memilih tinggal di Huntu Lo
ti'opo atau bukit kapas.
Suatu saat, Mbu'i Bungale mandapat kiriman sebuah mustika sebesar telur
itik dari khayangan. Mustika itu di sebut Bimelula, yang kemudian di simpan di
tupalo dan di tutup dengan sebuah tolu (tudung). Suatu hari, ada empat orang
cowok yang berasal dari bagian timur dan tersesat di tengah hutan. Mereka
mencari air bersih untuk di minum. Akhirnya mereka menemukan tupalo. Begitu
melihat air yang jernih dan dingin itu, mereka langsung terjun, mandi dan
mengambil air tersebut. Setelah itu, mereka melihat ada tolu yang terapung -
apung. Mereka pun mendekati dan berniat mengambil tolu itu. Tiba - tiba suasana
berubah. langit yang cerah berubah menjadi gelap. badai dan angin topan, serta
hujan datang bersamaan menerpa mereka. sejenak mereka mencari tempat untuk
berlindung. Setelah hujan dan badainya reda, mereka kembali ke tupalo untuk
mencari tau siapa pemilik tolu itu. Ga' lama kemudian Mbu'i Bungale datang
bersama Jilumoto, keempat cowok tadi pun langsung bersembunyi dan mengintip. Di
saat Mbu'i Bungale mendekati tolu, mereka pun langsung menghadang dan berkata
"siapa kalian? buat apa kalian datang ke tempat ini?". Mbu'i Bungale
pun menjawab "saya Mbu'i Bungale dan ini Jilumoto,suami saya. Kami datang
ke sini untuk menjemput Bimelula dalam tolu itu." keempat orang itu menjawab
dengan lantang "ini tempat kami,tak seorang pun yang bisa datang ke
sini,apalagi mengambil barang - barang yang ada di sini." Mbu'i Bungale
pun balik bertanya " apa buktinya kalau semua ini milik kalian? Jika
kalian yang menguasai mata air dan tolu itu, maka ubahlah mata air itu menjadi
sebuah danau. Dan ku ingatkan kepada kalian bahwa daratan dan mata air ini
pemberian Allah SWT yang di tujukan kepada makhluk yang berbudi pekerti, baik,
menghargai sesama dan selalu berkata jujur. oleh karena itu, jagalah! dan
jangan cemarkan!". Tanpa basa - basi, keempat orang itu segera memasang
mantra untuk meluaskan mata air tersebut. Berbagai macam gaya di peragakan
seiring dengan kalimat - kalimat aneh yang keluar dari mulut mereka. Malangnya,
mata air tersebut tetap tenang, tak mengalami perubahan sedikit pun. Hanya
tubuh merekalah yang basah kuyup seperti kucing kehujanan. Mbu'i Bungale
tersenyum melihat tingkah mereka, sambil berkata "ayo,keluarkan semua
kekuatan kalian. Buktikan bahwa tempat ini milik kalian. Atau mungkin kalian menyerah
dan mengakui kebohongan kalian..?" salah satu dari mereka menjawab
"perlihatkan kepada kami bahwa kamu pemilik tolu dan Bimelula itu."
Mbu'i Bungale kemudian bersedekap dan memohon ijin dan petunjuk dari sang
Penguasa. Lalu ia berkata "Woy air kehidupan, mata air berkah, melebarlah!
meluaslah..!" wuuusstt..ga' lama kemudian terdengarlah gemuruh air, tanah
menggelegar, berlahan - lahan mata air itu melebar dan meluas. Dalam sekejap
Mbu'i Bungale dan Jilumoto telah berada di atas pohon, sementara keempat orang
itu memanjat pohon kapuk di sekitar hutan.
Air semakin tinggi dan mulai mencapai puncak pohon, tempat ke empat
tersebut. Mereka berteriak - teriak minta tolong kepada Mbu'i Bungale. Dengan
penuh permohonan mereka berkata "Kami mohon ampun kepadamu dan suamimu.
Kami mengaku salah dan kami akui bahwa tempat ini beserta isinya milik
kalian". Mbu'i Bungale langsung turun dari pohon, lalu datang membawa tolu
dan Bimelula. Kemudian Bimelula itu di letakkkan di atas telapak tangannya ddan
tak lama kemudian keluarlah seorang gadis kecil yang sangat cantik, laksana
bulan bercahaya. gadis itulah yang kemudian di kenal dengan nama Tolango Hula
yang berasal dari Tolango Lo Hula. Dialah yang akan menjadi raja Limboto.
Ketika Mbu'i Bungale dan suaminya bersiap pulang ke rumahnya sambil membawa
si gadis kecil serta keempat orang tadi, mereka melepas pandangan ke danau yang
baru saja di buat. Tiba - tiba Mbu'i Bungale melihat lima benda yang terapung -
apung seperti buah. Diambilnya buah - buah itu dan di cubitnya, lalu di
ciumnya. Ternyata baunya sangat harum. Dia baru sadar bahwa bau itu seperti bau
buah jeruk (limau/lemon) yang ada di negeri khayangan. Selanjutnya memandang
sekeliling danau dan memastikan kalau ada pohon jeruk yang tumbuh di sekitar
danau. Kemudian ia memanggil suaminya untuk memastikan "Kanda, bukankah
ini jeruk yang tumbuh di khayangan? aku merasa yakin,karena bau dan bentuk dari
buah ini." Suaminya mendekatinya dan ikut memegang buah tersebut dan
kemudian mengiakan pernyataan yang telah di katakan oleh istrinya. Mbu'i
Bungale kemudian berkata "Aku heran, bukankah tidak pohon jeruk yang
tumbuh di sekitar tempat ini, mengapa buah jeruk ini bisa berada di danau ini,
mungkin ini anugerah yang di berikan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Ku pikir,kejadian
ini perlu di abadikan sebagai nama dari danau ini. Dan itu artinya, danau ini
pantas di beri nama Bulalo Lo Limu o Tutu, yang artinya danau dari jeruk yang
berasal dari khayangan."
30. MALUKU (Si Rusa dan Si Kulomang)
Rusa di
Kepulauan Aru mempunyai kemampuan berlari dengan sangat cepat. Namun, karena kelebihan itu,
mereka menjadi hewan yang sombong dan serakah. Demi kesenangan, mereka
menantang hewan lain untuk berlomba lari. Lawan yang berhasil dikalahkan harus
menyerahkan tempat tinggal mereka kepada rusa. Tentu saja rusa yang jadi
pemenangnya. Sudah banyak wilayah di Kepulauan Aru yang berhasil mereka kuasai.
Luasnya wilayah mereka membuat rusa semakin merasa berkuasa. Mereka mengganggap
diri mereka bangsa penguasa pulau.
Di tempat lain, di tepian Pulau Aru, terdapat sebuah pantai yang sangat
indah. Deburan ombak yang lembur, tiupan angin yang sejuk, dan hamparan pasir
yang hangat membuat siapa pun yang berada di sana merasa nyaman. Di sanalah
hidup siput laut yang terkenal sebagai hewan yang cerdik dan sabar. Mereka
hidup bersama dan saling tolong-menolong. Mereka sadar akan kelemahan tubuh
mereka. Tapi, mereka percaya bahwa kekuatan otak tidak kalah dengan kekuatan
apapun. Pada suatu hari, rusa menantang siput yang bernama Kulomang untuk
bertanding. Selain ingin menguasai keindahan pantai, rusa ingin memuaskan hati dengan
menambah koleksi kemenangan. Rusa sangat yakiin dapat mengalahkan siput. Di
seluruh pulau, siputlah binatang yang terkenal paling lambat berjalan. Berjalan
dan berlari tidak terlihat bedanya. Selain itu, siput selalu membawa cangkang
yang ukurannya melebihi tubuh mereka. Bagi rusa, tidak ada halangan yang
mengganggunya untuk memenangkan pertandingan. Tapi, ada satu hal yang dilupakan
rusa, siput adalah binatang yang terkenal dengan kecerdikannya.
Hari pertandingan pun tiba. Rusa membawa rombongannya untuk menyaksikan
pertandingan dengan wajah optimis. Tak mau kalah, siput juga membawa sepuluh
temannya. Masing-masing dari mereka ditempatkan di setiap pemberhentian yang
telah ditentukan. Dia meminta agar teman-temannya membalas setiap perkataan
rusa. Jalur yang akan mereka pakai, melewati 11 tempat peristirahatan termasuk
tempat dimulainya pertandingan. Dia sendiri akan berada di garis start bersama
rusa sombong.
“Sudah siap menerima kekalahan, siput?” tantang rusa dengan congkaknya.
“Siapa takut?!” ujar siput pendek.
Pertandingan pun dimulai. Si rusa lari secepat kilat mendahului siput.
Sementara siput berjalan dengan tenang ke arah semak-semak. Beberapa jam
kemudian, rusa sudah sampai ke pos pemberhentian pertama. Napasnya naik turun
dengan cepat. Sambil bersandar kelelahan di pohon yang rimbun, rusa bergumam.
“Baru sampai mana si lambat itu berlari? Hihihihi…?”
“Sampai di belakangmu,” jawab teman siput yang sudah bersiaga di
semak-semak.
Rusa kaget siput sudah berada di dekatnya. Saking terkejutnya rusa, ia
langsung melonjak dan lari tunggang langgang. Tidak dipedulikannya rasa lelah
yang dirasakannya. Rusa terus saja berlari. Sampai-sampai, dia tidak berhenti
di pos kedua. Di pos ketiga, dia kelelahan. Dia berhenti sebentar untuk
mengatur napasnya.
“Sekarang, tidak mungkin siput mampu mengejarku!” kata rusa disela
engahnya.
“Mengapa
berpikir begitu?” ujar teman siput yang lain santai, membalas ucapan rusa.
Tanpa berpikir panjang, rusa berlari lagi.
“Tidak ada yang boleh mengalahkanku! Apa kata rusa yang lain kalau aku mempermalukan
bangsa sendiri?!” kata rusa pada dirinya sendiri.
Rusa terus berlari dan berlari. Tidak lupa di setiap pemberhentian, dia
memastikan keberadaan si siput. Tentu saja teman siput siap menjawab segala perkataan rusa. Memasuki pos ke
11, rusa sudah kehabisan napas. Saking lelahnya, rusa jatuh tersungkur dan
mati. Semua binatang yang pernah diremehkan rusa bersorak-sorak. Akhirnya,
siput berhasil mengalahkan rusa yang sombong dengan cara memperdayainya.
31. MALUKU UTARA (Asal Mula Telaga Biru)
Dahulu kala
Di provinsi Maluku, di daerah Halmahera terdapat sebuah air di antara pembekuan
lahar panas. Karena menggenang dalam waktu yang cukup lama. Sehingga membuat
airnya menjadi berubah warna menjadi biru. Karena peristiwa ini aneh, penduduk
desa di daearah sana membuat acara ritual untuk menemukan jawaban atas kejadian
ini.
“Timbul dari
Sininga irogi de itepi Sidago kongo dalulu de i uhi imadadi ake majobubu”
Timbul dari akibat patah hati yang remuk-redam, meneteskan air mata, mengalir
dan mengalir menjadi sumber mata air. Itulah arti kejadian tersebut, yang
ditemukan berkat ritual.
Setelah
Ritual itu selesai di lakukan maka, Kepala Desa menyuruh warganya untuk
berkumpul di pusat desa. Tetua adat dengan penuh wibawa bertanya “Di antara
kalian siapa yang tidak hadir namun juga tidak berada di rumah”. Para penduduk
mulai saling memandang. Masing-masing sibuk menghitung jumlah anggota
keluarganya. Akhirnya diketahui bawa ada dua keluarga yang anggotanya belum
lengkap. Mereka adalah Majojaru (nona) dan Magohiduuru (nyong). Setelah itu
salah seorang dari warga bercerita tentang mereka berdua.
Dulu ada
Sepasang Kekasih yang berjanji untuk sehidup semati. Mereka bernama Majojaru
dan Magohiduuru. Suatu hari Magohiduuru pergi berkelana ke negeri seberang,
selama hampir satu tahun Magohiduuru belum juga kembali. Majojaru yang terus
menunggu dengan setia lama kelamaan menjadi cemas. Suatu hari Majojaru melihat
kapal yang dinaiki Magohiduuru datang. Namun Setelah bertanya dengan awak kapal
di mendengar bahwa Magohiduuru sudah meninggal dunia ketika di negeri seberang.
Mendengar
Kabar tentang Magohiduuru, Majojaru terhempas ke tanah. Mereka berjanji sehidup
semati, tetapi sekarang Magohiduuru telah tiada. Kabar yang di dengarnya
membuat dia seakan – akan kehilangan dirinya sendiri dan tujuan hidupnya.
Hati yang
sedih menyelimuti raut muka Majojaru, muka yang tidak punya harapan hidup
tampak dari raut wajahnya. Dengan perlahan – lahan di berjalan menuju ke rumahnya, di tengah
perjalanan dia berteduh di sebuah pohon, dan bebatuan. Merenung dan meratapi
nasibnya, pikirannya melayang layang, lalu teringat akan kekasihnya
Magohiduuru. Air mata keluar dari matanya setetes demi setetes, hingga tiga hari
tiga malam telah terlewati. Air matanya yang terus mengalir, lama-kelamaan,
semakin banyak hingga menggenangi dirinya sendiri. Majojaru larut dalam
kesedihan, dan tanpa di sadari air matanya menggenang tinggi, hingga
menenggelamkan bebatuan tempat ia duduk, lama kelamaan ia pun ikut tenggelam
dan meninggal dunia di sana.
Telaga kecil pun terbentuk dari Air mata Majojaru. Airnya sebening air mata
dan warnanya sebiru pupil mata nona endo Lisawa. Penduduk dusun Lisawa pun
berkabung. Mereka berjanji akan menjaga dan memelihara telaga itu. Telaga yang
berasal dari tetesan air mata itu lama – lama airnya berubah menjadi kebiru –
biruan, sehingga penduduk di dearah sana, memberi nama Telaga Biru.
32. PAPUA BARAT (Caadara)
Suatu saat,
hiduplah seorang panglima perang bernama Wire. Ia tinggal di desa Kramuderu. Ia
mempunyai seorang anak laki-laki bernama Caadara.
Sejak kecil
Caadara dilatih ilmu perang dan bela diri oleh ayahnya. Wire berharap, kelak
anaknya bisa menggantikannya sebagai panglima perang yang tangguh.
Tahun
berganti. Caadara tumbuh menjadi pemuda yang gagah. Caadara juga tangkas dan
cakap. Wire ingin menguji kemampuan anaknya. Karena itulah ia menyuruh pemuda
itu berburu di hutan.
Caadara
mengumpulkan teman-temannya. Lalu mereka berangkat berburu. Mereka berjalan
melewati jalan setapak dan semak belukar. Di hutan mereka menemui banyak
binatang. Mereka berhasil menombak beberapa binatang.
Dari hari pertama sampai hari keenam, tak ada rintangan yang berarti untuk
Caadara dan anak buahnya. Tapi esok harinya mereka melihat anjing pemburu.
Kedatangan anjing itu menandakan bahaya yang akan mengancam.
Caadara dan anak buahnya segera siaga. Mereka menyiapkan busur, anak panah,
kayu pemukul, dan beberapa peralatan perang. Mereka waspada.
Tiba-tiba terdengar pekikan keras. Sungguh menakutkan! Anak buah Caadara
ketakutan. Tapi Caadara segera menyuruh mereka membuat benteng pertahanan.
Mereka menuju tanah lapang berumput tinggi. Tempat itu penuh semak belukar. Di
sana mereka membangun benteng untuk menangkis serangan musuh.
Tiba-tiba muncullah 50 orang suku Kuala. Mereka berteriak dan menyerang
Caadara dan anak buahnya. Tongkat dan tombak saling beradu. Sungguh pertempuran
yang seru. Caadara tidak gentar. Ia memimpin pertempuran dengan semangat
tinggi. Padahal jumlah anak buahnya tak sebanding dengan jumlah musuh.
Caadara berhasil merobohkan banyak musuh. Sedangkan musuh yang tersisa
melarikan diri.
Betapa kagumnya teman-teman Caadara melihat anak panglima perang Wire.
Mereka segan dan kagum padanya. Mereka pulang sambil mengelu-elukan Caadara.
Kampung gempar dibuatnya. Wire sungguh bangga. Ia juga terharu sehingga
berlinang air mata. Tak sia-sia latihan yang diberikan pada Caadara.
Kampung gempar mendengarnya. Ayahnya terharu dan berlinang air mata. Pesta
malam hari pun diadakan. Persiapan menyerang suku Kuala pun diadakan, karena
mereka telah menyerang Caadara.
Esok harinya, Caadara diberi anugerah berupa kalung gigi binatang, bulu
kasuari yang dirangkai indah, dengan bulu cendrawasih di tengahnya.
Kemudian masyarakat desa mempelajari Caadara Ura, yaitu taktik perang
Caadara. Taktik itu berupa melempar senjata, berlari, menyerbu dengan senjata,
seni silat jarak dekat, dan cara menahan lemparan kayu. Nama Caadara kemudian
tetap harum. Ia dikenal sebagai pahlawan dari desa itu.
33. PAPUA (Asal Mula Nama Irian)
Dahulu kala,
di Kampung Sopen, Biak Barat tinggal sebuah keluarga yang memiliki beberapa
anak laki-laki. Salah satu anak tersebut bernama Mananamakrdi. Ia sangat
dibenci oleh saudara-saudaranya karena seluruh tubuhnya dipenuhi kudis,
sehingga siapa pun tak tahan dengan baunya. Maka, saudara-saudaranya selalu
meminta Mananamakrdi tidur di luar rumah. Jika Mananamakrdi melawan, tak
segan-segan saudara-saudaranya akan menendangnya keluar hingga ia merasa kesakitan.
Suatu hari,
saudara-saudaranya sudah tak tahan dengan bau kudis itu. Maka, Mananamakrdi
diusir dari rumah. Dengan langkah gontai, Mananamakrdi berjalan ke arah timur.
Sesampai di pantai, diambilnya satu perahu yang tertambat. Diarunginya laut
luas hingga ia menemukan sebuah daratan yang tak lain adalah Pulau Miokbudi di
Biak Timur.
Ia membuat
gubuk kecil di dalam hutan. Setiap hari ia pergi memangkur sagu untuk mencukupi
kebutuhan makannya. Selain itu, ia juga membuat tuak dari bunga kelapa.
Kebetulan di hutan itu terdapat beberapa pohon kelapa yang dapat disadapnya.
Setiap sore, ia memanjat kelapa, kemudian memotong manggarnya. Di bawah
potongan itu diletakkan ruas bambu yang diikat. Hari berikutnya, ia tinggal
mengambil air nira itu kemudian dibuat tuak. Suatu siang, ia amat terkejut,
nira di dalam tabungnya telah habis tak bersisa. Mananamakrdi sangat kesal.
Malam itu ia duduk di pelepah daun kelapa untuk menangkap pencurinya. Hingga
larut malam pencuri itu belum datang. Menjelang pagi, dari atas langit terlihat
sebuah makhluk memancar sangat terang mendekati pohon kelapa tempat
Mananamakrdi bersembunyi. Makhluk itu kemudian meminum seluruh nira. Saat ia
hendak lari, Mananamakrdi berhasil menangkapnya. Makhluk itu meronta-ronta.
“Siapa
kamu?” tanya Mananamakrdi.
“Aku Sampan, si bintang pagi yang menjelang siang. Tolong lepaskan aku, matahari hampir menyingsing,”
katanya memohon.
“Sembuhkan
dulu kudisku, dan beri aku seorang istri cantik,” pinta Mananamakrdi.
“Sabarlah,
di pantai dekat hutan ini tumbuh pohon bitanggur. Jika gadis yang kamu inginkan
sedang mandi di pantai, panjatlah pohon bitanggur itu, kemudian lemparkan satu
buahnya ke tengah laut. Kelak gadis itu akan menjadi istrimu,” kata Sampan. Mananamakrdi kemudian
melepaskan Sampan.
Sejak itu setiap sore Mananamakrdi duduk di bawah pohon bitanggur
memperhatikan gadis-gadis yang mandi. Suatu sore, dilihatnya seorang gadis
cantik mandi seorang diri. Gadis itu tak lain adalah Insoraki, putri kepala
suku dari Kampung Meokbundi. Segera dipanjatnya pohon bitanggur. Kulitnya terasa sakit bergesekan dengan
pohon bitanggur yang kasar itu. Diambilnya satu buah bitanggur, dan dilemparnya
ke laut.
Bitanggur itu terbawa riak air dan mengenai tubuh Insoraki hingga ia merasa
terganggu. Dilemparnya buah itu ke tengah laut. Namun, buah itu kembali terbawa
air dan mengenai Insoraki. Kejadian itu berlangsung berulang-ulang hingga
Insoraki merasa jengkel. Ia kemudian pulang.
Beberapa hari kemudian, Insoraki hamil. Kejadian aneh di pantai ia
ceritakan kepada orangtuanya. Tentu saja orangtuanya tak percaya. Beberapa
bulan kemudian, Insoraki melahirkan seorang bayi laki-laki. Saat lahir, bayi
itu tak menangis, namun tertawa-tawa. Beberapa waktu kemudian, diadakan pesta
pemberian nama. Anak itu diberi nama Konori. Mananamakrdi hadir dalam pesta
itu. Saat pesta tarian berlangsung, tiba-tiba Konori berlari dan menggelendot
di kaki Mananamakrdi. “Ayaaah ...,” teriaknya. Orang-orang terkejut. Pesta
tarian kemudian terhenti.
Akhirnya, Isoraki dan Mananamakrdi dinikahkan. Namun, kepala suku dan penduduk
kampung merasa jijik dengan Mananamakrdi. Mereka pun meninggalkan kampung
dengan membawa semua ternak dan tanamannya. Jadilah kampung itu sepi. Hanya
Mananamakrdi, Insoraki, dan Konori yang tinggal. Suatu hari, Mananamakrdi mengumpulkan
kayu kering, kemudian membakarnya. Insoraki dan Konori heran. Belum hilang rasa
heran itu, tiba-tiba Mananamakrdi melompat ke dalam api. Spontan, Insoraki dan
Konori menjerit. Namun ajaib, tak lama kemudian Mananamakrdi keluar dari api
itu dengan tubuh yang bersih tanpa kudis. Wajahnya sangat tampan. Anak dan
istrinya pun gembira. Mananamakrdi kemudian menyebut dirinya Masren Koreri yang
berarti pria yang suci. Beberapa lama kemudian, Mananamakrdi mengheningkan
cipta, maka terbentuklah sebuah perahu layar. Ia kemudian mengajak istri dan
anaknya berlayar sampai di Mandori, dekat Manokwari.
Pagi-pagi buta, anaknya bermain pasir di pantai. Dilihatnya tanah
berbukit-bukit yang amat luas. Semakin lama, kabut tersibak oleh sinar pagi.
Tampak pegunungan yang amat cantik. Tak lama kemudian matahari bersinar
terang, udara menjadi panas, dan kabut pun lenyap.
“Ayah ... Irian. Iriaaan,” teriak Konori. Dalam bahasa Biak, irian berarti
panas.
“Hai, Anakku, jangan memekik begitu. Ini tanah nenek moyangmu,” kata Mananamakrdi.
“Iya, Ayah. Maksud Konori, panas matahari telah menghapus kabut pagi,
pemandangan di sini indah sekali,” kata Konori.
Konon, sejak saat itu wilayah tersebut disebut dengan nama Irian. Air laut
yang membiru, pasirnya yang bersih, bukit-bukit yang menghijau, dan burung
cendrawasih yang anggun dan molek membuat Irian begitu indah.
Daftar pustaka
Sumber : http://blogkuapadanya.blogspot.com/2013/05/cerita-rakyat-33-propinsi-dari-indonesia_9891.html